Sinetron Religi Dalam
Kacamata Islam
Di TV banyak kita saksikan
sinetron-sinetron, yang dikatakan sinetron Islami. Misalnya, orang yang
sering mabuk nanti pada saat mati, mayatnya dipenuhi ulat. Setelah usai
tayangan. Kemudian dikomentari oleh seorang ustadz yang muncul, supaya
orang bisa sadar. Bagaimana persoalan seperti ini?
Jika memperhatikan daftar acara tayangan
film atau sinetron, kita akan menemukan hampir semua stasiun televisi
menampilkan tayangan semacam ini. Pada waktu sebelumnya, tayangan
bernuansa “religi”, biasanya hanya muncul saat Ramadhan dan Syawwal.
Namun belakangan ini, tayangan sinetron “religi” seolah menjadi acara
utama televisi. Berbagai tema dimunculkan. Dari yang wajar-wajar saja
mengangkat persoalan kehidupan sosial masyarakat, hingga tema-tema
keislaman yang hakikatnya mengusung masalah bid’ah dan kesyirikan.
Kenapa bisa demikian? Apakah pihak
manajemen televisi menyadari keburukan program-program tayangannya?
Seolah tanpa memiliki beban kekeliruan, mereka menayangkan sinetron
“religi” yang sebenarnya sarat dengan penyesatan dan pembodohan.
Ironisnya, banyak pemirsa yang sebagian besar kaum Muslimin, ternyata
terpikat tayangan-tayangan ini tanpa merasa perlu mengkritisi. Padahal,
tayangan seperti itu tidak selaras dan banyak yang tidak sesuai dengan
pemahaman agama yang shahih.
SENI PERAN BUKAN DARI ISLAM [1]
Pada awal penulisan kitab Iqafun Nabil
‘ala Hukmit-Tamtsil, Dr. Abdus Salam bin Barjas rahimahullah membahas
mengenai seni peran (tamtsil), yang saat sekarang ini sudah tidak asing
lagi. Menurut beliau, mula pertama seni peran adalah dari kebudayaan
Yunani dan ajaran-ajaran gereja kuno sebelum Islam datang. Pendapat ini
juga dipertegas oleh sejumlah ahli sastra. Adapun kaum Muslimin, tidak
pernah mengenalnya, baik ketika awal dakwah Rasulullah Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maupun setelah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam wafat.
Seni peran ini, mulai dikenal di kalangan
kaum Muslimin pada sekitar pertengahan 1800 Masehi. Yaitu semenjak
orang-orang Timur mulai giat mempelajari ilmu-ilmu Barat dan
kebudayaannya. Saat itulah, mulai dikenal pengetahuan yang berkaitan
dengan seni peran. Prinsip-prinsip dasar seni peran, pada awalnya muncul
melalui pertunjukan sandiwara di Yunani dalam acara-acara keagamaan
yang diselenggarakan di wilayah-wilayah negara Yunani. Begitu pula
dengan gereja, mereka memanfaatkan seni peran (tamtsil), untuk
mengaktualisasikan wujud para pembesar atau tokoh-tokoh mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
mencontohkan dengan satu gambaran berkaitan dengan perayaan hari raya
Sya’anin di kalangan penganut Nasrani. Syaikhul Islam berkata: “Itu hari
Ahad pertama dalam puasa mereka. Mereka keluar pada hari itu dengan
membawa daun zaitun atau lainnya. Dengan asumsi, mereka sedang meniru
yang terjadi pada Isa Alaihissallam saat memasuki Baitil Maqdis…”.
Jadi, tamtsil (seni peran) merupakan
salah satu sya’irah (simbol) paganisme Yunani dan gereja Nashara. Mereka
melakukannya dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada dewa-dewa,
mengagungkan Isa bin Maryam Alaihissallam dan mengenang tokoh atau
pembesar-pembesar mereka. Tema yang diangkat, misalnya tentang dewa
Dionysos (Bakhkhos), dewa padi, tumbuh-tumbuhan dan korma.
Penyelenggaraan yang mengandung nilai pemujaan ini, sebagai ungkapan
kegembiraan dan rasa syukur terhadap dewa, bila hasil panennya
berlimpah. Dan jika gagal panen, mereka melakukannya sebagai ekspresi
pengharapan dan ketundukan. Lantas, bagaimana dengan kaum Muslimin?
Harus dipahami, termasuk prinsip yang
penting dalam Islam, yaitu menyelisihi kebiasaan dan tradisi orang
kafir, terlebih lagi bila tradisi dan kebiasaan tersebut berkaitan erat
dengan ibadah dan simbol agama mereka. Dalam Islam, menyelisihi orang
kafir dalam tradisi dan kebiasaan mereka merupakan tuntutan syari’at.
Bagaimana jika kebiasaan tersebut berkaitan dengan simbol agama dan
ibadah mereka? Jawabnya, tentunya harus semakin dijauhi.
RANGKAIAN KEDUSTAAN PADA SINETRON SECARA UMUM [2]
Pembuatan film atau sinetron, tidak lepas
dari dua kondisi. Pertama. Sinetron yang bersifat fiktif atau khayalan
belaka. Kedua. Berkisah tentang peristiwa nyata yang telah terjadi
dengan melibatkan sejumlah orang.
Aktualisasi dua jenis cerita ini hukumnya
haram dan tidak diperbolehkan oleh syari’at, karena mengandung
kedustaan. Di antara kedustaan yang diperlihatkan sinetron adalah :
• Menamakan pemainnya dengan nama yang lain.
• Memainkan sosok lain yang bukan jati dirinya. Misalnya sebagai hakim, penjual, pemabuk, atau lainnya.
• Ungkapan-ungkapan yang diketahui kebohongan dan khayalannya.
• Memperlihatkan diri sebagai penderita cacat, orang dungu atau lainnya, padahal tidak demikian.
• Memerankan sebagai tokoh yang sangat shalih, misalnya sebagai seorang kyai atau ustadz. Bisa juga memerankan tokoh jahat, yang selalu berbuat kerusakan atau kezhaliman, dan sebagainya.
• Memainkan sosok lain yang bukan jati dirinya. Misalnya sebagai hakim, penjual, pemabuk, atau lainnya.
• Ungkapan-ungkapan yang diketahui kebohongan dan khayalannya.
• Memperlihatkan diri sebagai penderita cacat, orang dungu atau lainnya, padahal tidak demikian.
• Memerankan sebagai tokoh yang sangat shalih, misalnya sebagai seorang kyai atau ustadz. Bisa juga memerankan tokoh jahat, yang selalu berbuat kerusakan atau kezhaliman, dan sebagainya.
Untuk peran pertama, bila memang tokohnya
benar-benar orang-orang shalih, akan menunjukkan tazkiyah (mensucikan
diri). Sedangkan peran yang kedua (sebagai orang jahat), apabila memang
orangnya begitu, berarti telah membuka kedoknya sendiri sebagai pelaku
maksiat di hadapan orang banyak.
Jenis-jenis kedustaan sebagaimana
tersebut di atas sulit dilepaskan dari sinetron-sinetron, baik yang
bernuansa religi, ataupun lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ: (منها) وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ
“Empat sifat, apabila terdapat pada
diri seseorang, maka ia menjadi seorang munafik. Barangsiapa terdapat
satu sifat dari sifat-sifat itu, maka pada dirinya terdapat satu sifat
dari sifat-sifat munafik: (di antaranya), jika berkata ia berdusta”. [HR al Bukhari dan Muslim].
Mungkin ada yang menyanggah dengan
berkata : “Para penonton mengetahui kalau artis A bukanlah tokoh yang
dimainkannya, sehingga tidak ada masalah”.
Jawabannya adalah, hadits-hadits yang
mengharamkan dusta itu bersifat umum, tidak boleh dibatasi kecuali
dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh syari’at. Jenis
yang dimaksudkan tidak didapati adanya dalil shahih yang membatasinya.
Maka tidak boleh berbicara asal-asalan. Seandainya dusta yang tidak
membahayakan orang diperbolehkan, sudah pasti akan terjadi kerusakan
besar.
Telah diriwayatkan dari beberapa sahabat
tentang haramnya berdusta secara mutlak. Di dalam al Adabul Mufrad karya
al Bukhari dan Tahdzibul Atsar, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud
Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Berdusta tidak baik dilakukan pada saat
sungguh-sungguh atau main-main, dan juga dalam bentuk memberi janji
kepada anak kemudian tidak menepatinya”.
Dalam lafazh lain disebutkan: “Dan demi
Dzat yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selainNya, berdusta
tidak boleh dilakukan untuk main-main atau sengaja”.
Di dalam al Qur`an surat at Taubah/9 ayat 119, Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”.
Dalam Hadits Riwayat Abu Dawud disebutkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا
“Aku menjadi penanggung sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta, meskipun ia main-main”.[3]
‘Allamah ar Ruyani berkata di dalam al
Bahr: “Barangsiapa sengaja berdusta, maka persaksiannya tertolak,
kendatipun tidak merugikan orang lain. Sebab, dalam kondisi apapun,
dusta hukumnya haram”.
Ibnu Jarir menyatakan dalam Tahdzibul
Atsar : “Menurutku, yang benar dalam masalah tersebut, ialah pendapat
bahwa dusta yang diperkenankan Nabi adalah saat peperangan, untuk
memperbaiki hubungan antara orang (yang sedang tidak harmonis) dan
terhadap isteri [4]. Adapun
kebohongan yang sudah jelas, hukumnya tidak boleh bagi siapapun.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud :’Tidak boleh berdusta dengan
sengaja ataupun main-main’. Hal ini merujuk pada riwayat-riwayat yang
saya sampaikan dari Rasulullah sebagaimana penjelasan terdahulu yang
mengharamkan dusta”.
ADANYA PERAN SEBAGAI ORANG KAFIR, MELAFAZHKAN UNGKAPAN BERMUATAN KEKUFURAN, MENCACI-MAKI AGAMA DAN ORANG-ORANG SHALIH [5]
Hal ini berlangsung ketika ada aktor atau
artis yang memerankan peran antagonis sebagai pencemooh agama. Dia pun
berakting di depan kamera, sebagai seorang pemeran, sambil melontarkan
ungkapan busuk tentang agama atau orang-orang shalih. Atau berperan
sebagai orang fasik yang sedang mengumbar nafsunya tanpa kendali,
sehingga harus bersama dengan wanita lain di satu kamar, berpakaian ala
wanita, berperan sebagai lelaki hidung belang, pemabok …dan peran-peran
lainnya. Atau berperan sebagai orang kafir dan melontarkan
ungkapan-ungkapan yang jelas-jelas kufur. Dia pun benar-benar berusaha
menjiwai aktingnya. Sebagaimana yang dilakukan para pekerja film yang
memerankan orang jahiliyah, atau setan. Akhirnya, keluarlah celaan
terhadap Allah, RasulNya dan penghinaan terhadap Islam. Ini semua
terjadi di hadapan banyak orang, baik sutradara, pemain lain dan kru
film, juga penonton nantinya. Mereka berdalih semua ini karena tuntutan
profesionalisme. Maka, tidak diragukan lagi, perbuatan ini termasuk
kekufuran yang terang-terangan, sehingga bisa mengeluarkan seseorang
dari Islam. Allah berfirman dalam QS. at Taubah/9 ayat 64-66
menyebutkan:
“Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti.
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?”
“Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa”.
Imam ath Thabari dan Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan dengan sanad yang berderajat laa ba`sa bih, dari ‘Abdullah
bin Umar, ia berkata:
“Ada seorang lelaki yang berkata saat
dalam perang Tabuk: “Kami tidak melihat orang yang seperti para pembaca
al Qur`an ini. Mereka orang yang paling doyan makan, paling dusta
lidahnya dan paling pengecut di medan perang”.
Ada satu orang yang menyanggah
(perkataan tersebut): “Engkau dusta. Engkau hanyalah orang munafik. Saya
akan memberitahukan ini kepada Rasulullah”.
Kejadian ini kemudian sampai kepada
Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam dan al Qur`an turun. ‘Abdullah bin
‘Umar berkata: “Saya melihat ia (orang yang berbicara tadi) memegangi
tali onta Rasulullah sehingga batu-batu melukainya sembari
berkata,’Wahai Rasulullah, saya hanya bercanda dan bermain-main saja’,”
(tetapi) Rasulullah hanya menjawab (dengan membaca ayat) : “Apakah
dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kalian mencemooh. Janganlah
kalian meminta maaf. Kalian sudah kafir setelah beriman”.
Imam Abu Bakr al Jashshash rahimahullah menyimpulkan:
Dalam hadits ini terdapat petunjuk, bahwa orang yang bermain-main atau sungguhan, sama saja hukumnya saat mengungkapkan kata-kata kufur tanpa ada paksaan. Sebab, orang-orang munafik tersebut melontarkan ucapan-ucapan itu hanya untuk main-main belaka. Maka, Allah memberitahukan kekufuran mereka, dikarenakan tindakan main-main itu dengannya (ayat itu).
Dalam hadits ini terdapat petunjuk, bahwa orang yang bermain-main atau sungguhan, sama saja hukumnya saat mengungkapkan kata-kata kufur tanpa ada paksaan. Sebab, orang-orang munafik tersebut melontarkan ucapan-ucapan itu hanya untuk main-main belaka. Maka, Allah memberitahukan kekufuran mereka, dikarenakan tindakan main-main itu dengannya (ayat itu).
Allah memberitahukan, perkataan itu
merupakan kekufuran bagaimanapun cara pengungkapannya, baik secara
sungguhan ataupun main-main. Sehingga menunjukkan kesamaan hukum antara
yang benar-benar ingin melakukanya, dengan orang yang sekedar untuk
main-main saja dalam menyampaikan kata-kata kekufuran.
Begitu pula Imam Ibnul ‘Arabi
rahimahullah menyatakan, kondisi mereka tidak lepas dari dua alternatif,
mengucapkannya secara sungguhan atau hanya main-main saja. Bagaimanapun
kondisi mereka, tetap saja merupakan kekufuran. Sesungguhnya main-main
dengan kekufuran merupakan tindakan kekufuran. Tidak ada perselisihan
pendapat di kalangan umat. (Lihat Ahkamul Qur`an, 3/142)
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab
rahimahullah menyatakan di dalam kitab at Tauhid, Bab tentang orang yang
bermain-main dengan sesuatu yang berkaitan dengan Allah, al Qur`an atau
Rasulullah dan firman Allah :
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ
“Syaikh Sulaiman bin Abdillah
rahimahullah menjelaskan perkataan beliau dalam syarahnya, maksudnya
merupakan kekufuran. Sebab, telah mencemooh Rububiyah Allah dan risalah
Rasulullah. Tindakan ini bertentangan dengan tauhid.
Para ulama telah bersepakat mengenai
kufurnya orang yang melakukan perbuatan tersebut. Barangsiapa yang
mengejek Allah atau KitabNya atau Rasul dan agamanya, (berarti) ia telah
kafir, kendati pun ia hanya bermain-main saja, tidak berniat untuk
melakukan cemoohan. Sehingga, sudah jelas bagi kita melalui
keterangan-keterangan para ulama dan kutipan mereka, bahwa orang yang
mengucapkan perkataan-perkataan kufur meskipun hanya bermain-main, maka
ia kafir.
MERUBAH CIPTAAN ALLAH [6]
Perbuatan merubah ciptaan Allah dalam
sinetron atau semacamnya, dapat dilihat ketika para aktornya memerankan
sebagai orang pincang, buta, tua renta. Atau dengan menyambung rambutnya
dengan rambut lain, meletakkan rambut di dagunya untuk jenggot yang
belum tumbuh, menyemir rambut hitamnya, dan seterusnya. Ini semua
termasuk dalam kategori merubah ciptaan Allah Ta’ala. Allah melarang
perbuatan seperti ini. Dalam al Qur`an surat an Nisaa` ayat 119 Allah
menunjukkan perkataan setan: “…dan aku benar-benar akan
menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada
mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak),
lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah
ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya”. Barangsiapa yang
menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia
menderita kerugian yang nyata.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha menyatakan,
yang dimaksud merubah ciptaan Allah dan bertindak buruk denganya adalah
bersifat umum, mencakup merubah secara fisik dan mencakup seluruh
perbuatan yang membuat bentuk menjadi jelek (tasywih), dan meniru-niru
secara maknawi. (Lihat al Manar, 5/428).
MENASABKAN DIRI KEPADA SELAIN AYAHNYA [7]
Aspek menasabkan diri kepada selain
ayahnya dalam sinetron sangat jelas. Seorang pemeran, akan memanggil
pemeran lainnya dengan kata “ayah, atau anakku dan lain-lain”.
Mengometari peri laku ini, Syaikh ‘Abdus
Salam bin Barjas rahimahullah mengatakan: “Ini termasuk dalam keumuman
larangan. Di dalamnya, terdapat penisbatan bahwa si Fulan putra si Fulan
secara hakiki, yang akan memerintah dan melarang serta memaksanya,
layaknya ayah kandungnya sendiri. Inilah yang dilarang. Ini merupakan
larangan agama”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam al Qur`an surat al Ahzab/33 ayat 5 : Panggilah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka;
itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu
seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang
kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
RIDHA DENGAN KEMUNGKARAN
Mengacu kepada penjelasan para ulama
tersebut, maka dapat diketahui, bahwa tayangan-tanyangan film atau
sinetron yang dianggap agamis tersebut, ternyata menyimpan
pelanggaran-pelanggaran syari’at, dan mengandung konsekwensi yang tidak
ringan. Misalnya, mendiamkan kemungkaran-kemungkaran yang terjadi dalam
proses penayangan, menunjukkan keridhaan seseorang terhadap kemungkaran
tersebut. Perbuatan ini, juga merupakan kemungkaran.
Dalam sebuah hadits, dari Abu Sa’id al Khudri, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa
dari kalian melihat kemungkaran, hendaknya merubahnya dengan tangannya.
Jika tidak mampu, hendaklah menggunakan lisannya. Bila tidak mampu,
maka menggunakan hatinya. Dan itu merupakan keimanan yang paling lemah”.
Dalam kitab-kitab as Sunnah, dari Abi Bakr ash Shiddiq, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللَّهُ بِعِقَابٍ
“Sesungguhnya bila manusia menyaksikan
seseorang berbuat zhalim, (tetapi) tidak menghalanginya, dikhawatirkan
Allah akan meratakan siksa dariNya kepada mereka semua.”.[8]
TUJUAN KEBAIKAN MASIH MENGAMBANG, SEMENTARA KERUSAKAN JELAS, MAKA TIDAK BOLEH DIKEMBANGKAN
Terdapat adanya pendapat, bahwa tayangan
film atau sinetron tersebut bermanfaat. Yakni bertujuan menampilkan
akhlak luhur, sebagai pesan sosial bagi masyarakat terhadap bahaya
maksiat, untuk menyadarkan umat meraih hidayah, dan maksud-maksud
kebaikan lainnya.
Namun, pendapat ini masih belum teruji,
jika dibandingkan dengan mafsadah yang jelas nampak. Selain itu,
kebanyakan masyarakat pemirsa, menonton acara-acara tersebut hanya
sekedar hiburan, bukan untuk mencari ilmu, mengambil pelajaran dan
hidayah. Hingga, susah jika dikatakan acara tersebut telah
merealisasikan tujuannya yang muluk-muluk di atas.
Jadi, maslahat itu hanya sebatas
prediksi. Sedangkan mafsadahnya sangat kentara. Seperti pelecehan
terhadap kebaikan dan orang-orang shalih, penayangan perbuatan maksiat,
adanya ikhtilat (percampuran antara lelaki dan perempuan secara bebas),
pengungkapan kata-kata kufur tanpa ada paksaan (kecuali paksaan
skenario).
Ha-iah Kibaril Ulama Arab Saudi
memberikan penetapan, saat mengomentari pembuatan film yang mengambil
kisah Sahabat Bilal Radhiyallahu ‘anhu :
“Asumsi adanya maslahat, seperti untuk memperlihatkan akhlak-akhlak yang mulia, etika-etika yang baik, disertai usaha penayangan film layaknya peristiwa aslinya, penelitian kronologis sejarah tanpa ada unsur kekeliruan padanya, yang ditujukan untuk mendapatkan ibrah (pelajaran) dan nasihat, ini hanya sekedar bayangan dan perkiraan belaka. Bagi yang mencermati sebentar saja terhadap kehidupan keseharian dan orientasi sebagian aktor atau artis yang memainkan film religi tersebut -yang bervisi menanamkan nilai-nilai luhur yang dicoba untuk diselipkan di dalamnya- maka ia akan mengetahui, bila kehidupan religi yang sedang mereka (para aktor) perankan, (sesungguhnya) tidak diinginkan oleh mereka.
“Asumsi adanya maslahat, seperti untuk memperlihatkan akhlak-akhlak yang mulia, etika-etika yang baik, disertai usaha penayangan film layaknya peristiwa aslinya, penelitian kronologis sejarah tanpa ada unsur kekeliruan padanya, yang ditujukan untuk mendapatkan ibrah (pelajaran) dan nasihat, ini hanya sekedar bayangan dan perkiraan belaka. Bagi yang mencermati sebentar saja terhadap kehidupan keseharian dan orientasi sebagian aktor atau artis yang memainkan film religi tersebut -yang bervisi menanamkan nilai-nilai luhur yang dicoba untuk diselipkan di dalamnya- maka ia akan mengetahui, bila kehidupan religi yang sedang mereka (para aktor) perankan, (sesungguhnya) tidak diinginkan oleh mereka.
Di dalam syari’at, terdapat sebuah kaidah
yang sudah mapan, bahwa segala sesuatu yang bahayanya sangat dominan,
hukumnya adalah haram. Oleh karena itu, untuk menjaga kebaikan dan
menutup akses menuju kerusakan dan untuk memelihara kemuliaan
orang-orang yang shalih, baik dari kalangan nabi, sahabat atau orang
shalih lainnya, tayangan tersebut mesti dilarang”.[9]
Ketika menyampaikan kata pengantar dalam
Iqafun Nabil, Syaikh Shalih al Fauzan menyatakan, kendatipun diwacanakan
mengandung adanya sebagian maslahat, namun sebenarnya ia penuh dengan
kerusakan-kerusakan yang lebih dominan, dibandingkan kemaslahatan itu.
Dan seperti yang telah diketahui, sesuatu yang bahayanya lebih dominan,
hukumnya haram. Selain itu, menghindarkan diri dari bahaya, lebih
diutamakan daripada berusaha meraih maslahat. Meskipun pada dasarnya
saya, sama sekali tidak melihat adanya maslahat. Tetapi, ungkapan ini
hanya sekedar untuk tanazzul (usaha menyamakan presepsi) di hadapan
pihak yang menyanggah. [10]
Dari pemaparan singkat di atas, mengingat
adanya pelanggaran terhadap agama, meski tidak disebutkan secara
keseluruhan, maka nampaklah jika tayangan film atau sinetron yang
menyandang muatan religi tersebut, tidak selayaknya dan tidak pantas
ditayangkan. Jika dikupas tayangan tersebut secara detail, tentu akan
semakin meyakinkan ketidakbaikan tayangan-tayangan tersebut. Meskipun
tayangan tersebut memiliki tujuan kebaikan, namun kerusakan akibat
tayangan tersebut ternyata lebih dominan. Oleh karena itu, pendapat para
ulama pantas untuk diperhatikan, bahwa tujuan tidak boleh menghalalkan
segala cara. Para ulama Islam menyebutnya al ghayah la tubarrirul wasilah.
Wallahul Musta’an. Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (Mas)
(Diadaptasi
dari Iqafun-Nabil ‘ala Hukmit-Tamtsil, karya Syaikh Dr. Abdus Salam bin
Barjas Alu Abdil Karim, Pengantar Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al
Fauzan, Darul ‘Ashimah, Cet. I, Th. 1411 H).
Daftar Rujukan :
- Fiqhul Nawazil-Dirasat-Ta`shiliyah Tathbiqiyah. Dr. Muhammad bin Husain al Jizani, Dar Ibnil Jauzi, Cet. I, Th. 1426 H – 2005 M.
- Hirasatul-Fadhilah, Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid Dar ‘Alamil Fawaid, Cet. I, Th. 1415 H.
- Iqafun-Nabil ‘Ala Hukmit-Tamtsil, karya Dr. Abdus Salam bin Barjas Alu Abdil Karim, Pengantar Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al Fauzan, Darul ‘Ashimah, Cet. I, Th. 1411 H.
- Al Hujajul-Qawiyyah ‘ala Anna wa Sailad-Da’wati Tauqifiyah, Dr. Abdus Salam bin Barjas Alu Abdil Karim, Darus Salaf, Riyadh, Cet. II, Th. 1415H.
- Fiqhul Nawazil-Dirasat-Ta`shiliyah Tathbiqiyah. Dr. Muhammad bin Husain al Jizani, Dar Ibnil Jauzi, Cet. I, Th. 1426 H – 2005 M.
- Hirasatul-Fadhilah, Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid Dar ‘Alamil Fawaid, Cet. I, Th. 1415 H.
- Iqafun-Nabil ‘Ala Hukmit-Tamtsil, karya Dr. Abdus Salam bin Barjas Alu Abdil Karim, Pengantar Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al Fauzan, Darul ‘Ashimah, Cet. I, Th. 1411 H.
- Al Hujajul-Qawiyyah ‘ala Anna wa Sailad-Da’wati Tauqifiyah, Dr. Abdus Salam bin Barjas Alu Abdil Karim, Darus Salaf, Riyadh, Cet. II, Th. 1415H.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
___________________
[1]. Iqafun Nabil, hlm. 15-22.
[2]. Ibid., hlm. 30-46.
[3]. Dihasankan oleh al Albani dalam Shahihut-Targhib wat-Tarhib, no. 2648.
[4]. Tiga kondisi itu juga diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah dari Ibnu Syihab rahimahullah (4/2011). Lihat al Adzkar lin-Nawawi, hlm. 324. Dikutip dari Afatul Lisan fi Dhauil-Kitabi was-Sunnah, Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al Qahthani, hlm. 77.
[5]. Iqafun Nabil, 54-55.
[6]. Hirasatul Fadhilah, hlm. 50-53.
[7]. Ibid., hlm. 48-50.
[8]. Dishahihkan oleh al Albani dalam Shahihut-Targhib wat-Tarhib, no. 2317.
[9]. Dikutip dari Fiqhun Nawazil (4/316).
[10]. Iqafun Nabil, hlm. 6.
[2]. Ibid., hlm. 30-46.
[3]. Dihasankan oleh al Albani dalam Shahihut-Targhib wat-Tarhib, no. 2648.
[4]. Tiga kondisi itu juga diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah dari Ibnu Syihab rahimahullah (4/2011). Lihat al Adzkar lin-Nawawi, hlm. 324. Dikutip dari Afatul Lisan fi Dhauil-Kitabi was-Sunnah, Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al Qahthani, hlm. 77.
[5]. Iqafun Nabil, 54-55.
[6]. Hirasatul Fadhilah, hlm. 50-53.
[7]. Ibid., hlm. 48-50.
[8]. Dishahihkan oleh al Albani dalam Shahihut-Targhib wat-Tarhib, no. 2317.
[9]. Dikutip dari Fiqhun Nawazil (4/316).
[10]. Iqafun Nabil, hlm. 6.
[Sumber]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar