Khataman dan Imtihan

Khataman dan Imtihan

Rabu, 27 Maret 2013

10 Manfaat Syukur Bagi Kesehatan

10 Manfaat Syukur Bagi Kesehatan



Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih. [QS. Ibrahim: 7]

syukur-allah
Bersyukur merupakan sarana penambah nikmat untuk kita. Jika kita ingin diberi nikmat lebih oleh-Nya, sebaliknya jika kita mengingkari atas nikmat Allah, sesungguh nya azab Allah sangat pedih, maka marilah kita bersyukur pada Nya.
Bersyukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah SWT seringkali dilupakan oleh sebagian besar manusia. Padahal ada sebuah penelitian menunjukkan bahwa rasa syukur akan memunculkan banyak manfaat bagi kesehatan, terutama dalam meningkatkan imunitas atau sistim kekebalan tubuh.
Seperti dikutip dari huffingtonpost, pada hari minggu (25/11/2012), bahwa orang yang pandai bersyukur akan mendapatkan manfaat kesehatan. Dan setidaknya juga ada 10 manfaat lain dari syukur, yaitu :
1. Menjaga kesehatan mental remaja
Remaja yang pandai bersyukur tentulah lebih bahagia. Selain itu mereka juga dikenal memiliki pandangan yang lebih baik terhadap hidupnya, bertingkah-laku lebih baik di sekolah hingga lebih bisa diharapkan ketimbang teman-temannya yang kurang bersyukur.
“Lebih pandai bersyukur mungkin adalah hal yang diperlukan oleh masyarakat kita untuk menumbuhkan generasi yang siap membuat perbedaan pada dunia,” kata peneliti Giacomo Bono, PhD, seorang profesor psikologi dari California State University.
2. Meningkatkan kesejahteraan
Sebuah studi pada tahun 2003 yang dipublikasikan dalam Journal of Personality and Social Psychology, rajin bersyukur dapat mendorong kesejahteraan seseorang. Pandangan hidup orang yang melakukannya pun jadi lebih cerah serta memunculkan hal-hal positif yang lebih besar pada orang tersebut.
3. Nilai akademis yang lebih baik
Siswa sekolah menengah yang pandai bersyukur terbukti memiliki nilai akademik yang lebih bagus, termasuk dalam hal integrasi sosial dan kepuasan terhadap hidup daripada rekan-rekan mereka yang kurang bersyukur. Hal ini diungkap sebuah studi pada tahun 2010 yang ditampilkan dalam Journal of Happiness Studies.
Peneliti juga menemukan bahwa remaja yang pandai bersyukur lebih jarang mengalami depresi atau mudah cemburu.
“Lagipula jika dikombinasikan dengan studi sebelumnya, penggambaran manfaat rasa syukur itu lebih jelas terlihat saat remaja,” ungkap peneliti.
4. Menjadi teman yang lebih baik bagi orang lain
Berdasarkan sebuah studi pada tahun 2003 dalam Journal of Personality and Social Psychology, rasa syukur juga dilaporkan dapat mendorong perilaku sosial yang positif seperti membantu orang lain yang tertimpa masalah atau memberikan dukungan emosional pada orang lain.
5. Tidur lebih nyenyak
Menuliskan berbagai hal yang patut disyukuri sebelum beranjak tidur dapat membantu seseorang tertidur lebih nyenyak. Fakta ini diungkap sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Applied Psychology: Health and Well-Being.
Secara spesifik, peneliti menemukan bahwa ketika seseorang menghabiskan waktu 15 menit untuk menuangkan segala hal yang mereka syukuri ke dalam sebuah jurnal sebelum tidur maka orang yang bersangkutan akan lebih cepat tertidur dan tidur lebih lama.
6. Memperkuat hubungan dengan pasangan
Sebuah studi yang ditampilkan dalam jurnal Personal Relationship mengungkapkan bahwa mensyukuri setiap hal terkecil yang dilakukan pasangan membuat hubungan seseorang dengan pasangannya dijamin akan lebih kuat.
7. Menjaga kesehatan jantung
Pada tahun 1995, sebuah studi yang dipublikasikan dalam American Journal of Cardiology menunjukkan bahwa apresiasi dan emosi positif dapat dikaitkan dengan perubahan variabilitas detak jantung. Hal ini dianggap bermanfaat dalam terapi pengobatan hipertensi dan mengurangi kemungkinan kematian mendadak pada pasien gagal jantung kongestif dan penyakit jantung koroner.
8. Memperkuat moral tim
Atlit yang pandai bersyukur lebih sedikit mengalami kelelahan dan lebih banyak mendapatkan kepuasan hidup, termasuk kepuasan terhadap kinerja timnya.
9. Sistem kekebalan yang lebih sehat
Rasa syukur juga dikatakan berkaitan dengan optimisme sehingga mendorong sistem kekebalan tubuh menjadi lebih sehat.
Salah satunya dibuktikan oleh sebuah studi dari University of Utah yang menunjukkan bahwa mahasiswa jurusan hukum yang stres namun tetap optimis terbukti memiliki lebih banyak sel-sel darah yang meningkatkan kesehatan sistem kekebalan ketimbang rekan-rekan mereka yang pesimis.
10. Mencegah emosi negatif akibat datangnya musibah
WebMD melaporkan bahwa musibah dapat mendorong munculnya rasa syukur dan hal itu dapat meningkatkan perasaan saling memiliki sekaligus menurunkan stres.
Berbahagialah kita sebagai ummat Islam karena Islam sudah mengajarkan pada kita tentang sikap bersyukur sebelum adanya hasil penelitian ini.
»»  BACA SELANJUTNYA...

Keutamaan Hari Jumat

Keutamaan Hari Jumat

jumat
HARI Jumat, tak pelak, merupakan hari yang sangat istimewa dalam Islam. Itu sudah kita ketahui bersama. Ada banyak hal yang disebutkan hadist dalam hari Jumat ini. Apa saja? Berikut hadist-hadist yang menyebutkan kelebihan hari Jumat.
Dari Abu Hurairah katanya, Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam bersabda, maksudnya: “Sebaik-baik hari yang terbit matahari ialah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan dan pada hari itu juga dia dikeluarkan dari syurga. Pada Jum’at juga kiamat akan berlaku. Pada hari itu tidaklah seorang yang beriman meminta sesuatu daripada Allah melainkan akan dikabulkan permintaannya.” [HR Muslim]
Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya hari Jum‘at adalah penghulu segala hari dan hari yang paling besar di sisi Allah Subhanhu wa Ta ‘ala yaitu hari yang lebih besar daripada hari raya Adha dan hari raya Fitrah, pada hari Jum‘at itu terdapat lima kejadian yaitu hari yang dijadikan Adam ‘alaihissalam dan Baginda di turunkan daripada syurga ke muka bumi, dan pada hari itu juga wafatnya Adam ‘alaihissalam, dan Allah mengurniakan satu saat di mana do’a-do’a dikabulkan kecuali do’a-do’a maksiat, dan hari Jum‘at juga akan terjadinya hari Kiamat.” [HR Ibnu Majah]
Rasulullah sallallahu.’alaihi.wasallam bersabda, “Sesungguhnya harimu yang paling utama adalah hari Jum’at. Maka perbanyakkanlah shalawat kepadaku pada hari itu, karena shalawatmu ditunjukkan kepadaku. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat kami ditunjukkan kepadamu sedangkan tubuhmu telah hancur? Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam menjawab: Sesungguhnya Allah mengharamkan tubuh para Nabi bagi bumi (tidak hancur).” [HR Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah]
Rasulullah bersabda maksudnya : “Barang siapa yang berwudhu dan kemudian dia pergi ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at, lalu mendengar dan tidak bercakap (ketika khutbah dibacakan), maka diampuni dosa-dosanya yang ada di antara hari Jum’at itu dan hari Jum’at berikutnya.” [HR Muslim]
Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam bersabda, “Pada hari Jum’at terdapat satu waktu, tidaklah seorang hamba Muslim memohon sesuatu kepada Allah melainkan Allah akan mengabulkannya. Carilah ia di akhir waktu selepas asar.” [HR Abu Daud]
Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seseorang Muslim itu meninggal dunia pada hari jum’at atau pada malam Jum’at melainkan Allah menyelamatkannya dari fitnah kubur (soalan di dalam kubur). [HR At-Tirmizi]
Rasulullah sallahu ’alaihi wasallam bersabda, “Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at dan Ramadhan ke Ramadhan, semuanya adalah penghapus dosa-dosa di antara kedua-duanya selagi mana dijauhi dosa-dosa besar.” [HR Muslim]
About these ads
»»  BACA SELANJUTNYA...

Sinetron Religi Dalam Kacamata Islam

Sinetron Religi Dalam

Kacamata Islam

sinetron+religi
Di TV banyak kita saksikan sinetron-sinetron, yang dikatakan sinetron Islami. Misalnya, orang yang sering mabuk nanti pada saat mati, mayatnya dipenuhi ulat. Setelah usai tayangan. Kemudian dikomentari oleh seorang ustadz yang muncul, supaya orang bisa sadar. Bagaimana persoalan seperti ini?
Jika memperhatikan daftar acara tayangan film atau sinetron, kita akan menemukan hampir semua stasiun televisi menampilkan tayangan semacam ini. Pada waktu sebelumnya, tayangan bernuansa “religi”, biasanya hanya muncul saat Ramadhan dan Syawwal. Namun belakangan ini, tayangan sinetron “religi” seolah menjadi acara utama televisi. Berbagai tema dimunculkan. Dari yang wajar-wajar saja mengangkat persoalan kehidupan sosial masyarakat, hingga tema-tema keislaman yang hakikatnya mengusung masalah bid’ah dan kesyirikan.
Kenapa bisa demikian? Apakah pihak manajemen televisi menyadari keburukan program-program tayangannya? Seolah tanpa memiliki beban kekeliruan, mereka menayangkan sinetron “religi” yang sebenarnya sarat dengan penyesatan dan pembodohan. Ironisnya, banyak pemirsa yang sebagian besar kaum Muslimin, ternyata terpikat tayangan-tayangan ini tanpa merasa perlu mengkritisi. Padahal, tayangan seperti itu tidak selaras dan banyak yang tidak sesuai dengan pemahaman agama yang shahih.
SENI PERAN BUKAN DARI ISLAM [1]
Pada awal penulisan kitab Iqafun Nabil ‘ala Hukmit-Tamtsil, Dr. Abdus Salam bin Barjas rahimahullah membahas mengenai seni peran (tamtsil), yang saat sekarang ini sudah tidak asing lagi. Menurut beliau, mula pertama seni peran adalah dari kebudayaan Yunani dan ajaran-ajaran gereja kuno sebelum Islam datang. Pendapat ini juga dipertegas oleh sejumlah ahli sastra. Adapun kaum Muslimin, tidak pernah mengenalnya, baik ketika awal dakwah Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maupun setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Seni peran ini, mulai dikenal di kalangan kaum Muslimin pada sekitar pertengahan 1800 Masehi. Yaitu semenjak orang-orang Timur mulai giat mempelajari ilmu-ilmu Barat dan kebudayaannya. Saat itulah, mulai dikenal pengetahuan yang berkaitan dengan seni peran. Prinsip-prinsip dasar seni peran, pada awalnya muncul melalui pertunjukan sandiwara di Yunani dalam acara-acara keagamaan yang diselenggarakan di wilayah-wilayah negara Yunani. Begitu pula dengan gereja, mereka memanfaatkan seni peran (tamtsil), untuk mengaktualisasikan wujud para pembesar atau tokoh-tokoh mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mencontohkan dengan satu gambaran berkaitan dengan perayaan hari raya Sya’anin di kalangan penganut Nasrani. Syaikhul Islam berkata: “Itu hari Ahad pertama dalam puasa mereka. Mereka keluar pada hari itu dengan membawa daun zaitun atau lainnya. Dengan asumsi, mereka sedang meniru yang terjadi pada Isa Alaihissallam saat memasuki Baitil Maqdis…”.
Jadi, tamtsil (seni peran) merupakan salah satu sya’irah (simbol) paganisme Yunani dan gereja Nashara. Mereka melakukannya dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada dewa-dewa, mengagungkan Isa bin Maryam Alaihissallam dan mengenang tokoh atau pembesar-pembesar mereka. Tema yang diangkat, misalnya tentang dewa Dionysos (Bakhkhos), dewa padi, tumbuh-tumbuhan dan korma. Penyelenggaraan yang mengandung nilai pemujaan ini, sebagai ungkapan kegembiraan dan rasa syukur terhadap dewa, bila hasil panennya berlimpah. Dan jika gagal panen, mereka melakukannya sebagai ekspresi pengharapan dan ketundukan. Lantas, bagaimana dengan kaum Muslimin?
Harus dipahami, termasuk prinsip yang penting dalam Islam, yaitu menyelisihi kebiasaan dan tradisi orang kafir, terlebih lagi bila tradisi dan kebiasaan tersebut berkaitan erat dengan ibadah dan simbol agama mereka. Dalam Islam, menyelisihi orang kafir dalam tradisi dan kebiasaan mereka merupakan tuntutan syari’at. Bagaimana jika kebiasaan tersebut berkaitan dengan simbol agama dan ibadah mereka? Jawabnya, tentunya harus semakin dijauhi.
RANGKAIAN KEDUSTAAN PADA SINETRON SECARA UMUM [2]
Pembuatan film atau sinetron, tidak lepas dari dua kondisi. Pertama. Sinetron yang bersifat fiktif atau khayalan belaka. Kedua. Berkisah tentang peristiwa nyata yang telah terjadi dengan melibatkan sejumlah orang.
Aktualisasi dua jenis cerita ini hukumnya haram dan tidak diperbolehkan oleh syari’at, karena mengandung kedustaan. Di antara kedustaan yang diperlihatkan sinetron adalah :
•  Menamakan pemainnya dengan nama yang lain.
• Memainkan sosok lain yang bukan jati dirinya. Misalnya sebagai hakim, penjual, pemabuk, atau lainnya.
•  Ungkapan-ungkapan yang diketahui kebohongan dan khayalannya.
• Memperlihatkan diri sebagai penderita cacat, orang dungu atau lainnya, padahal tidak demikian.
•  Memerankan sebagai tokoh yang sangat shalih, misalnya sebagai seorang kyai atau ustadz. Bisa juga memerankan tokoh jahat, yang selalu berbuat kerusakan atau kezhaliman, dan sebagainya.
Untuk peran pertama, bila memang tokohnya benar-benar orang-orang shalih, akan menunjukkan tazkiyah (mensucikan diri). Sedangkan peran yang kedua (sebagai orang jahat), apabila memang orangnya begitu, berarti telah membuka kedoknya sendiri sebagai pelaku maksiat di hadapan orang banyak.
Jenis-jenis kedustaan sebagaimana tersebut di atas sulit dilepaskan dari sinetron-sinetron, baik yang bernuansa religi, ataupun lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ: (منها) وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ

“Empat sifat, apabila terdapat pada diri seseorang, maka ia menjadi seorang munafik. Barangsiapa terdapat satu sifat dari sifat-sifat itu, maka pada dirinya terdapat satu sifat dari sifat-sifat munafik: (di antaranya), jika berkata ia berdusta”. [HR al Bukhari dan Muslim].
Mungkin ada yang menyanggah dengan berkata : “Para penonton mengetahui kalau artis A bukanlah tokoh yang dimainkannya, sehingga tidak ada masalah”.
Jawabannya adalah, hadits-hadits yang mengharamkan dusta itu bersifat umum, tidak boleh dibatasi kecuali dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh syari’at. Jenis yang dimaksudkan tidak didapati adanya dalil shahih yang membatasinya. Maka tidak boleh berbicara asal-asalan. Seandainya dusta yang tidak membahayakan orang diperbolehkan, sudah pasti akan terjadi kerusakan besar.
Telah diriwayatkan dari beberapa sahabat tentang haramnya berdusta secara mutlak. Di dalam al Adabul Mufrad karya al Bukhari dan Tahdzibul Atsar, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Berdusta tidak baik dilakukan pada saat sungguh-sungguh atau main-main, dan juga dalam bentuk memberi janji kepada anak kemudian tidak menepatinya”.
Dalam lafazh lain disebutkan: “Dan demi Dzat yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selainNya, berdusta tidak boleh dilakukan untuk main-main atau sengaja”.
Di dalam al Qur`an surat at Taubah/9 ayat 119, Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”.
Dalam Hadits Riwayat Abu Dawud disebutkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا

“Aku menjadi penanggung sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta, meskipun ia main-main”.[3]
‘Allamah ar Ruyani berkata di dalam al Bahr: “Barangsiapa sengaja berdusta, maka persaksiannya tertolak, kendatipun tidak merugikan orang lain. Sebab, dalam kondisi apapun, dusta hukumnya haram”.
Ibnu Jarir menyatakan dalam Tahdzibul Atsar : “Menurutku, yang benar dalam masalah tersebut, ialah pendapat bahwa dusta yang diperkenankan Nabi adalah saat peperangan, untuk memperbaiki hubungan antara orang (yang sedang tidak harmonis) dan terhadap isteri [4]. Adapun kebohongan yang sudah jelas, hukumnya tidak boleh bagi siapapun. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud :’Tidak boleh berdusta dengan sengaja ataupun main-main’. Hal ini merujuk pada riwayat-riwayat yang saya sampaikan dari Rasulullah sebagaimana penjelasan terdahulu yang mengharamkan dusta”.
ADANYA PERAN SEBAGAI ORANG KAFIR, MELAFAZHKAN UNGKAPAN BERMUATAN KEKUFURAN, MENCACI-MAKI AGAMA DAN ORANG-ORANG SHALIH [5]
Hal ini berlangsung ketika ada aktor atau artis yang memerankan peran antagonis sebagai pencemooh agama. Dia pun berakting di depan kamera, sebagai seorang pemeran, sambil melontarkan ungkapan busuk tentang agama atau orang-orang shalih. Atau berperan sebagai orang fasik yang sedang mengumbar nafsunya tanpa kendali, sehingga harus bersama dengan wanita lain di satu kamar, berpakaian ala wanita, berperan sebagai lelaki hidung belang, pemabok …dan peran-peran lainnya. Atau berperan sebagai orang kafir dan melontarkan ungkapan-ungkapan yang jelas-jelas kufur. Dia pun benar-benar berusaha menjiwai aktingnya. Sebagaimana yang dilakukan para pekerja film yang memerankan orang jahiliyah, atau setan. Akhirnya, keluarlah celaan terhadap Allah, RasulNya dan penghinaan terhadap Islam. Ini semua terjadi di hadapan banyak orang, baik sutradara, pemain lain dan kru film, juga penonton nantinya. Mereka berdalih semua ini karena tuntutan profesionalisme. Maka, tidak diragukan lagi, perbuatan ini termasuk kekufuran yang terang-terangan, sehingga bisa mengeluarkan seseorang dari Islam. Allah berfirman dalam QS. at Taubah/9 ayat 64-66 menyebutkan:

“Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti.

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?”

“Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa”.

Imam ath Thabari dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dengan sanad yang berderajat laa ba`sa bih, dari ‘Abdullah bin Umar, ia berkata:
“Ada seorang lelaki yang berkata saat dalam perang Tabuk: “Kami tidak melihat orang yang seperti para pembaca al Qur`an ini. Mereka orang yang paling doyan makan, paling dusta lidahnya dan paling pengecut di medan perang”.
Ada satu orang yang menyanggah (perkataan tersebut): “Engkau dusta. Engkau hanyalah orang munafik. Saya akan memberitahukan ini kepada Rasulullah”.
Kejadian ini kemudian sampai kepada Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam dan al Qur`an turun. ‘Abdullah bin ‘Umar berkata: “Saya melihat ia (orang yang berbicara tadi) memegangi tali onta Rasulullah sehingga batu-batu melukainya sembari berkata,’Wahai Rasulullah, saya hanya bercanda dan bermain-main saja’,” (tetapi) Rasulullah hanya menjawab (dengan membaca ayat) : “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kalian mencemooh. Janganlah kalian meminta maaf. Kalian sudah kafir setelah beriman”.
Imam Abu Bakr al Jashshash rahimahullah menyimpulkan:
Dalam hadits ini terdapat petunjuk, bahwa orang yang bermain-main atau sungguhan, sama saja hukumnya saat mengungkapkan kata-kata kufur tanpa ada paksaan. Sebab, orang-orang munafik tersebut melontarkan ucapan-ucapan itu hanya untuk main-main belaka. Maka, Allah memberitahukan kekufuran mereka, dikarenakan tindakan main-main itu dengannya (ayat itu).
Allah memberitahukan, perkataan itu merupakan kekufuran bagaimanapun cara pengungkapannya, baik secara sungguhan ataupun main-main. Sehingga menunjukkan kesamaan hukum antara yang benar-benar ingin melakukanya, dengan orang yang sekedar untuk main-main saja dalam menyampaikan kata-kata kekufuran.
Begitu pula Imam Ibnul ‘Arabi rahimahullah menyatakan, kondisi mereka tidak lepas dari dua alternatif, mengucapkannya secara sungguhan atau hanya main-main saja. Bagaimanapun kondisi mereka, tetap saja merupakan kekufuran. Sesungguhnya main-main dengan kekufuran merupakan tindakan kekufuran. Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan umat. (Lihat Ahkamul Qur`an, 3/142)
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah menyatakan di dalam kitab at Tauhid, Bab tentang orang yang bermain-main dengan sesuatu yang berkaitan dengan Allah, al Qur`an atau Rasulullah dan firman Allah :

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ

“Syaikh Sulaiman bin Abdillah rahimahullah menjelaskan perkataan beliau dalam syarahnya, maksudnya merupakan kekufuran. Sebab, telah mencemooh Rububiyah Allah dan risalah Rasulullah. Tindakan ini bertentangan dengan tauhid.
Para ulama telah bersepakat mengenai kufurnya orang yang melakukan perbuatan tersebut. Barangsiapa yang mengejek Allah atau KitabNya atau Rasul dan agamanya, (berarti) ia telah kafir, kendati pun ia hanya bermain-main saja, tidak berniat untuk melakukan cemoohan. Sehingga, sudah jelas bagi kita melalui keterangan-keterangan para ulama dan kutipan mereka, bahwa orang yang mengucapkan perkataan-perkataan kufur meskipun hanya bermain-main, maka ia kafir.
MERUBAH CIPTAAN ALLAH [6]
Perbuatan merubah ciptaan Allah dalam sinetron atau semacamnya, dapat dilihat ketika para aktornya memerankan sebagai orang pincang, buta, tua renta. Atau dengan menyambung rambutnya dengan rambut lain, meletakkan rambut di dagunya untuk jenggot yang belum tumbuh, menyemir rambut hitamnya, dan seterusnya. Ini semua termasuk dalam kategori merubah ciptaan Allah Ta’ala. Allah melarang perbuatan seperti ini. Dalam al Qur`an surat an Nisaa` ayat 119 Allah menunjukkan perkataan setan: “…dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya”. Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha menyatakan, yang dimaksud merubah ciptaan Allah dan bertindak buruk denganya adalah bersifat umum, mencakup merubah secara fisik dan mencakup seluruh perbuatan yang membuat bentuk menjadi jelek (tasywih), dan meniru-niru secara maknawi. (Lihat al Manar, 5/428).
MENASABKAN DIRI KEPADA SELAIN AYAHNYA [7]
Aspek menasabkan diri kepada selain ayahnya dalam sinetron sangat jelas. Seorang pemeran, akan memanggil pemeran lainnya dengan kata “ayah, atau anakku dan lain-lain”.
Mengometari peri laku ini, Syaikh ‘Abdus Salam bin Barjas rahimahullah mengatakan: “Ini termasuk dalam keumuman larangan. Di dalamnya, terdapat penisbatan bahwa si Fulan putra si Fulan secara hakiki, yang akan memerintah dan melarang serta memaksanya, layaknya ayah kandungnya sendiri. Inilah yang dilarang. Ini merupakan larangan agama”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam al Qur`an surat al Ahzab/33 ayat 5 : Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
RIDHA DENGAN KEMUNGKARAN
Mengacu kepada penjelasan para ulama tersebut, maka dapat diketahui, bahwa tayangan-tanyangan film atau sinetron yang dianggap agamis tersebut, ternyata menyimpan pelanggaran-pelanggaran syari’at, dan mengandung konsekwensi yang tidak ringan. Misalnya, mendiamkan kemungkaran-kemungkaran yang terjadi dalam proses penayangan, menunjukkan keridhaan seseorang terhadap kemungkaran tersebut. Perbuatan ini, juga merupakan kemungkaran.
Dalam sebuah hadits, dari Abu Sa’id al Khudri, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, hendaknya merubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah menggunakan lisannya. Bila tidak mampu, maka menggunakan hatinya. Dan itu merupakan keimanan yang paling lemah”.
Dalam kitab-kitab as Sunnah, dari Abi Bakr ash Shiddiq, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللَّهُ بِعِقَابٍ

“Sesungguhnya bila manusia menyaksikan seseorang berbuat zhalim, (tetapi) tidak menghalanginya, dikhawatirkan Allah akan meratakan siksa dariNya kepada mereka semua.”.[8]
TUJUAN KEBAIKAN MASIH MENGAMBANG, SEMENTARA KERUSAKAN JELAS, MAKA TIDAK BOLEH DIKEMBANGKAN
Terdapat adanya pendapat, bahwa tayangan film atau sinetron tersebut bermanfaat. Yakni bertujuan menampilkan akhlak luhur, sebagai pesan sosial bagi masyarakat terhadap bahaya maksiat, untuk menyadarkan umat meraih hidayah, dan maksud-maksud kebaikan lainnya.
Namun, pendapat ini masih belum teruji, jika dibandingkan dengan mafsadah yang jelas nampak. Selain itu, kebanyakan masyarakat pemirsa, menonton acara-acara tersebut hanya sekedar hiburan, bukan untuk mencari ilmu, mengambil pelajaran dan hidayah. Hingga, susah jika dikatakan acara tersebut telah merealisasikan tujuannya yang muluk-muluk di atas.
Jadi, maslahat itu hanya sebatas prediksi. Sedangkan mafsadahnya sangat kentara. Seperti pelecehan terhadap kebaikan dan orang-orang shalih, penayangan perbuatan maksiat, adanya ikhtilat (percampuran antara lelaki dan perempuan secara bebas), pengungkapan kata-kata kufur tanpa ada paksaan (kecuali paksaan skenario).
Ha-iah Kibaril Ulama Arab Saudi memberikan penetapan, saat mengomentari pembuatan film yang mengambil kisah Sahabat Bilal Radhiyallahu ‘anhu :
“Asumsi adanya maslahat, seperti untuk memperlihatkan akhlak-akhlak yang mulia, etika-etika yang baik, disertai usaha penayangan film layaknya peristiwa aslinya, penelitian kronologis sejarah tanpa ada unsur kekeliruan padanya, yang ditujukan untuk mendapatkan ibrah (pelajaran) dan nasihat, ini hanya sekedar bayangan dan perkiraan belaka. Bagi yang mencermati sebentar saja terhadap kehidupan keseharian dan orientasi sebagian aktor atau artis yang memainkan film religi tersebut -yang bervisi menanamkan nilai-nilai luhur yang dicoba untuk diselipkan di dalamnya- maka ia akan mengetahui, bila kehidupan religi yang sedang mereka (para aktor) perankan, (sesungguhnya) tidak diinginkan oleh mereka.
Di dalam syari’at, terdapat sebuah kaidah yang sudah mapan, bahwa segala sesuatu yang bahayanya sangat dominan, hukumnya adalah haram. Oleh karena itu, untuk menjaga kebaikan dan menutup akses menuju kerusakan dan untuk memelihara kemuliaan orang-orang yang shalih, baik dari kalangan nabi, sahabat atau orang shalih lainnya, tayangan tersebut mesti dilarang”.[9]
Ketika menyampaikan kata pengantar dalam Iqafun Nabil, Syaikh Shalih al Fauzan menyatakan, kendatipun diwacanakan mengandung adanya sebagian maslahat, namun sebenarnya ia penuh dengan kerusakan-kerusakan yang lebih dominan, dibandingkan kemaslahatan itu. Dan seperti yang telah diketahui, sesuatu yang bahayanya lebih dominan, hukumnya haram. Selain itu, menghindarkan diri dari bahaya, lebih diutamakan daripada berusaha meraih maslahat. Meskipun pada dasarnya saya, sama sekali tidak melihat adanya maslahat. Tetapi, ungkapan ini hanya sekedar untuk tanazzul (usaha menyamakan presepsi) di hadapan pihak yang menyanggah. [10]
Dari pemaparan singkat di atas, mengingat adanya pelanggaran terhadap agama, meski tidak disebutkan secara keseluruhan, maka nampaklah jika tayangan film atau sinetron yang menyandang muatan religi tersebut, tidak selayaknya dan tidak pantas ditayangkan. Jika dikupas tayangan tersebut secara detail, tentu akan semakin meyakinkan ketidakbaikan tayangan-tayangan tersebut. Meskipun tayangan tersebut memiliki tujuan kebaikan, namun kerusakan akibat tayangan tersebut ternyata lebih dominan. Oleh karena itu, pendapat para ulama pantas untuk diperhatikan, bahwa tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara. Para ulama Islam menyebutnya al ghayah la tubarrirul wasilah.
Wallahul Musta’an. Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (Mas)
(Diadaptasi dari Iqafun-Nabil ‘ala Hukmit-Tamtsil, karya Syaikh Dr. Abdus Salam bin Barjas Alu Abdil Karim, Pengantar Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al Fauzan, Darul ‘Ashimah, Cet. I, Th. 1411 H).
Daftar Rujukan : 
- Fiqhul Nawazil-Dirasat-Ta`shiliyah Tathbiqiyah. Dr. Muhammad bin Husain al Jizani, Dar Ibnil Jauzi, Cet. I, Th. 1426 H – 2005 M. 
- Hirasatul-Fadhilah, Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid Dar ‘Alamil Fawaid, Cet. I, Th. 1415 H. 
- Iqafun-Nabil ‘Ala Hukmit-Tamtsil, karya Dr. Abdus Salam bin Barjas Alu Abdil Karim, Pengantar Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al Fauzan, Darul ‘Ashimah, Cet. I, Th. 1411 H. 
- Al Hujajul-Qawiyyah ‘ala Anna wa Sailad-Da’wati Tauqifiyah, Dr. Abdus Salam bin Barjas Alu Abdil Karim, Darus Salaf, Riyadh, Cet. II, Th. 1415H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
___________________
[1]. Iqafun Nabil, hlm. 15-22.
[2]. Ibid., hlm. 30-46.
[3]. Dihasankan oleh al Albani dalam Shahihut-Targhib wat-Tarhib, no. 2648. 
[4]. Tiga kondisi itu juga diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah dari Ibnu Syihab rahimahullah (4/2011). Lihat al Adzkar lin-Nawawi, hlm. 324. Dikutip dari Afatul Lisan fi Dhauil-Kitabi was-Sunnah, Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al Qahthani, hlm. 77.
[5]. Iqafun Nabil, 54-55.
[6]. Hirasatul Fadhilah, hlm. 50-53.
[7]. Ibid., hlm. 48-50.
[8]. Dishahihkan oleh al Albani dalam Shahihut-Targhib wat-Tarhib, no. 2317. 
[9]. Dikutip dari Fiqhun Nawazil (4/316).
[10]. Iqafun Nabil, hlm. 6.

»»  BACA SELANJUTNYA...

Awas Bahaya Bid’ah !

Awas Bahaya Bid’ah !



Oleh : Ustadz Abu Adib

بسم الله الرحمن الرحيم

beware of bid'ahAl-Imam An-Nawawi dalam kitab beliau Riyadhush Shalihin, menyatakan dalam bab “Larangan dari bid’ah dan perkara baru dalam agama”. Bid’ah secara bahasa artinya sesuatu yang diciptakan manusia yang belum ada contoh sebelumnya. Seperti Firman Allah ‘Azza wajalla :

“Allah menciptakan langit dan bumi yang tidak ada contoh sebelumnya.” [QS. Al-Baqarah : 117]

Adapun bid’ah secara syari’at terjadi sedikit perbedaan di kalangan para ‘ulama. Asy-Syaikh ‘Utsaimin menyatakan : “Bid’ah adalah setiap orang yang menyembah Allah atau beribadah kepada Allah, dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan, baik secara aqidah, perkataan maupun perbuatan”.
Imam Asy-Syathibi berkata : “Bid’ah adalah suatu jalan yang diada-adakan dalam agama guna menandingi syari’at dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala”.
Dan Syaikh ‘Abdul Wahhab Al-Washaby berkata : “Bid’ah adalah setiap keyakinan, atau perkataan, atau amalan yang diada-adakan setelah kematian Rasulullah, dengan niatan untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan tetapi tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah”.
Pembaca yang budiman, berikut ini akan kami paparkan tentang bahaya-bahaya bid’ah :
Pertama, bid’ah adalah sesuatu yang tidak dinashkan dalam Al-qur’an dan As-Sunnah. Allah Subhaanahuwata’ala berfirman :
”Maka tidak ada sesudah kebenaran melainkan kesesatan”.
Adapun dalil dari As-Sunnah, Rasulullah bersabda :
“Setiap bid’ah adalah sesat”.
Dan telah dimaklumi bersama, bahwa tidak mungkin seorang mukmin akan memilih jalan yang akan menyesatkannya. Karena, hal itu bertolak belakang dengan do’a mereka (orang-rang yang beriman) setiap kali sorang mukmin shalat. Yaitu mereka meminta agar dijauhkan dari jalan-jalan yang sesat, ketika membaca Firman Allah Ta’ala :

“Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan yang Engkau beri nikmat atas mereka. Bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat.” [QS. Al Fatihah : 6-7]

Kedua, orang yang berbuat bid’ah berarti mereka telah keluar dari mengikuti Nabi .
Allah berfirman :

“Katakanlah ; “Jikalau kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku (Rasulullah). Niscaya Allah akan mengasihi kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [QS. Al-Imran : 31]

Barang siapa membuat suatu bid’ah (sesuatu yang diada-adakan) yang dengan bid’ah itu ia gunakan untuk beribadah kepada Allah, maka dia telah keluar dari tuntunan Rasulullah.
Ketiga, orang yang berbuat bid’ah bertentangan dengan kesaksian mereka :
“Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”.
Karena di syahadat rasul ini memiliki beberapa konsekuensi sebagai berikut :
1. Mentaati apa yang diperintahkan oleh Rasulullah. Dan orang yang berbuat bid’ah tidak mentaati Rasulullah.
2. Membenarkan apa yang dikabarkan. Orang yang berbuat bid’ah berarti mereka tidak membenarkan kabar dari Rasulullah. Dimana Rasul mengabarkan :
“Setiap bid’ah itu sesat, setiap yang sesat itu di neraka”.
“Barang siapa yang beramal yang tidak ada perintah dari kami, maka amalan itu tertolak”.
3. Meninggalkan apa yang Nabi  larang.
4. Tidaklah Allah diibadahi kecuali dengan apa yang telah disyari’atkannya.
Keempat, bid’ah itu adalah mencela Islam. Orang yang berbuat bid’ah berarti telah tersirat dalam hatinya bahwa Islam itu belum sempurna, sehingga masih perlu ditambah dengan bid’ah yang mereka ada-adakan.
Padahal Allah berfirman :

“Pada hari ini telah aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Ku cukupkan bagi kalian nikmat-Ku, dan Aku ridha islam menjadi agama bagi kalian”. [QS. Al-Maidah : 3]

Kelima, bid’ah mengandung celaan terhadap Rasulullah. Kalau orang yang berbuat bid’ah beranggapan bahwa Rasulullah  tidak tahu, maka pelaku bid’ah ini telah menuduh bahwa Rasulullah  jahil (bodoh). Sedangkan kalau mereka menyatakan bahwa Nabi mengetahui tetapi Nabi tidak menyampaikan kepada umatnya berarti pelaku bid’ah menuduh Nabi  khianat dengan risalahnya.
Keenam, bid’ah bisa menjadikan penyebab pemecah belah umat Islam. Jika telah di buka pintu-pintu bid’ah, maka setiap kelompok akan membuat bid’ah, seperti yang telah terjadi pada umat Islam sekarang ini. Setiap kelompok membanggakan apa yang ada pada kelompoknya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

awas bid'ah“Tiap kelompok bangga dengan apa yang ada pada kelompoknya”. [QS. Ar-Rum : 32]

Setiap kelompok akan berkata “kebenaran ada bersama kami dan yang lainnya sesat”.
Pembaca yang budiman, untuk lebih jelasnya mari kita lihat contoh :
Orang-orang yang mengada-ada bid’ah Maulid Nabi, (Ulang tahun kelahiran Nabi) yang mereka tetapkan pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Tahukah kita apa yang akan diucapkan oleh orang-orang yang melakukan bid’ah ini? Mereka berkata bahwa : “Orang-orang yang tidak merayakan hari kelahiran Nabi itu berarti mereka adalah orang-orang yang marah dan membenci Nabi, mereka adalah orang-orang yang tidak bergembira dengan kelahiran Nabi…”. dan ucapan-ucapan jelek lainnya.
Perhatikanlah wahai para pembaca yang mulia … Satu bid’ah yang mereka lakukan telah menjadikan mereka saling mencemooh, saling menghina kelompok satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, semakin umat Islam banyak melakukan bid’ah maka akan semakin banyak perpecahan di tengah umat Islam.
Ketujuh, jika bid’ah telah menyebar pada umat, maka pudarlah sunnah. Karena, jika manusia mengerjakan bid’ah baik secara langsung maupun tidak langsung maka ia telah merusak sunnah.
Maka dari itu sebagian ‘ulama salaf berkata, “Tidaklah suatu kaum berbuat bid’ah kecuali mereka telah menghilangkan sunnah yang sepertinya atau yang lebih besar darinya”. Karena bid’ah itu telah menyebabkan lupa kepada sunnah dan memudarkan persatuan diantara umat Islam.
Pembaca yang budiman, semoga risalah ini bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam bish-shawab.


»»  BACA SELANJUTNYA...

Selamatkan Dirimu dari Neraka Dengan Sedekah

Selamatkan Dirimu dari Neraka Dengan Sedekah



Oleh: Badrul Tamam
SedekahAl-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Dahsyatnya siksa neraka tak ada bandingnya. Seringan-ringan siksanya tak ada yang sanggup menanggungnya. Bahkan ia merasa bahwa ia disiksa dengan siksa yang paling dahsyat. Lihatlah gambarannya yang dikabarkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,

إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَرَجُلٌ تُوضَعُ فِى أَخْمَصِ قَدَمَيْهِ جَمْرَتَانِ يَغْلِى مِنْهُمَا دِمَاغُه

Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan siksanya adalah seseorang yang diletakkan dua buah bara api di bawah telapak kakinya, seketika otaknya mendidih.(Muttafaq ‘Alaih, sebagian tambahan Al-Bukhari, “sebagaimana mendidihnya kuali dan periuk”)
Imam Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda;

إِنَّ أَدْنَى أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَنْتَعِلُ بِنَعْلَيْنِ مِنْ نَارٍ يَغْلِى دِمَاغُهُ مِنْ حَرَارَةِ نَعْلَيْه

Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan siksanya, ia memakai dua sandal dari neraka, seketika itu mendidih oraknya disebabkan panasnya dua sandalnya itu.
Dalam redaksi lain,

إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا مَنْ لَهُ نَعْلاَنِ وَشِرَاكَانِ مِنْ نَارٍ يَغْلِى مِنْهُمَا دِمَاغُهُ كَمَا يَغْلِى الْمِرْجَلُ مَا يَرَى أَنَّ أَحَدًا أَشَدُّ مِنْهُ عَذَابًا وَإِنَّهُ لأَهْوَنُهُمْ عَذَابً

Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan siksanya adalah seseorang memiliki dua sandal dan dua tali sandal dari api neraka, seketika otaknya mendidih karena panasnya sandal tersebut sebagaimana kuali mendidih. Orang tersebut merasa bahwa tak ada seorang pun yang siksanya lebih pedih daripadanya, padahal siksanya adalah yang paling ringan di antara mereka.(HR. Muslim)
Maka selayaknya kita benar-benar takut terhadapnya. Setiap jalan yang menghantarkan ke neraka, maka sungguh-sungguh kita jauhi. Segala sebab yang mengharuskan memasukinya, maka kita hindari. Kita juga berusaha mencari sebab yang bisa membentengi diri kita dari neraka.

عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ ذَكَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّارَ فَتَعَوَّذَ مِنْهَا وَأَشَاحَ بِوَجْهِهِ ثُمَّ ذَكَرَ النَّارَ فَتَعَوَّذَ مِنْهَا وَأَشَاحَ بِوَجْهِهِ قَالَ شُعْبَةُ أَمَّا مَرَّتَيْنِ فَلَا أَشُكُّ ثُمَّ قَالَ اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

Dari ‘Adiy bin Hatim Radhiyallahu ‘Anhu berkata: Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menyebutkan tentang neraka, kemudian berlindung diri darinya dan mengekspresikan dengan wajahnya. Kemudian menyebutkan neraka lalu berlindung diri darinya dan mengekspresikan dengan wajahnya. Kemudian menyebutkan neraka dan berlindung diri darinya dan mengekspresikan dengan wajahnya. Syu’bah berkata: kemungkinan dua kali, lalu saya tidak ragu. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Hindarkan dirimu dari neraka walaupun hanya dengan separoh butir kurma, jika tidak ada maka dengan tutur kata yang baik. (Muttafaq ‘alaih)
Dalam redaksi Muslim,

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَتِرَ مِنَ النَّارِ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَلْيَفْعَلْ

Siapa di antara kalian yang mampu membentengi diri dari neraka walau dengan separoh butir kurma hendaknya ia lakukan.
Dalam riwayat Ahmad dari hadits Ibnu Mas’ud dengan sanad shahih, “Hendaknya salah seorang kalian menjaga wajahnya dari neraka walau dengan separoh butir kurma.” Dan dari hadits Aisyah dengan sanad hasan, “Wahai ‘Aisyah, hindarkan dirimu dari neraka walau dengan separoh butir kurma.” (HR. Ahmad)
Di antara usaha yang menjadi hijab antara seseorang dengan neraka adalah sedekah. Karena sedekah akan menghapuskan kesalahan sebagaimana air yang memadamkan api. Sedekah juga bisa memadamkan kemurkaan Allah dan menghindarkan dari kematian buruk. (HR. al-Tirmidzi)
Hadits di atas menganjurkan untuk bersedekah walaupun hanya sedikit. Jangan malu karena hanya punya harta sedikit. Jangan pula meremehkan sedekah yang sedikit. Sesungguhnya sedikitnya sedekah bisa menjadi sebab seseorang diselamatkan dari jilatan api neraka.
Dalam hadits di atas terdapat petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bahwa di antara sarana terbesar yang bisa menyelamatkan dari neraka adalah berbuat baik kepada makhluk dengan harta dan perkataan. Kebaikan walau itu kecil secara materi, tidak boleh diremehkan, seperti sedekah yang jumlahnya sedikit, hanya separoh butir kurma. Bahkan jika tidak punya, bisa dengan berkata dengan kalimat thayyibah.
Kalimat thayyibah itu artinya luas. Ia mencakup semua perkataan yang menyenangkan hati, melapangkan dada, dan membuat gembira orang lain. Kalimat thayyibah juga mencakup perkataan yang mengandung petunjuk, mambaca ilmu dan mengajarkannya, membantah syubuhat, memperbaiki hubungan dua orang yang berseteru, memutuskan perselisihan dua orang yang bersengketa, memberi solusi atas problem, menenangkan orang yang marah, dan semisalnya.
Kalimat thayyibah juga mencakup zikir (mengingat) Allah, membaca Kitab-Nya, dan memuji-Nya serta menjelaskan hukum-hukum Allah dan syariat-Nya. Intinya, setiap perkataan yang mendekatkan diri kepada Allah dan memberikan manfaat untuk hamba-hamba Allah maka ia masuk dalam kategori kalimah thayyibah. Wallahu ta’ala A’lam. [PurWD/voa-islam.com]
»»  BACA SELANJUTNYA...

Rasulullah Tak Pernah Pensiun


Rasulullah Tak Pernah Pensiun



muhammad
Usia Rasulullah SAW benar-benar produktif hingga usia terakhir. Apalagi ketika diukur dengan imej sebagian orang hari ini. Kosa kata pensiun terlanjur lekat di benak mereka. Pensiun bagi sebagian orang bukan saja berhenti bekerja, tetapi berhenti juga produktifitasnya. Seakan tidak lagi menjadi orang penting di masyarakatnya setelah sebelumnya begitu sentral posisinya. Seakan hanya tinggal menunggu dua hal: kedatangan cucu dan kedatangan kematian. Tentu ini tidak benar.
Penelitian yang dilakukan di Amerika oleh para pakar dari The University of Maryland mengatakan bahwa mereka yang tetap beraktifitas setelah usia pensiun, menikmati kesehatan yang lebih baik daripada yang tidak beraktifitas lagi setelah usia pensiun. Demikian juga keadaan psikologinya, lebih stabil.
Penelitian yang dilakukan di Inggris mendukung hal di atas. Dan menambahkan tentang hubungan antara penyakit pikun dan pensiun. Pikun yang masih dikategorikan sebagai penyakit yang belum diketahui penyebabnya itu diteliti untuk dicari hubungannya dengan berhentinya aktifitas produktif setelah usia pensiun. Hasil penelitian pada 1320 orang yang sudah pikun dan 382 orang yang berpotensi pikun itu adalah: ada hubungan antara terlambatnya seseorang pensiun dengan terlambat datangnya penyakit pikun. Karena otak masih terus aktif. (sumber: aljazeerah.net dan kaheel7.com)
Subhanallah. Islam memang tidak pernah mengenal usia pensiun. Lihatlah dua ayat berikut ini,
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini.” [QS. Al-Hijr (15) : 99]
(Yang diyakini) adalah kematian. Seperti yang dijelaskan oleh Salim bin Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, Qatadah, al-Hasan al-Bashri, Mujahid. Sebagaimana yang dipilih oleh Ibnu Jarir dan Bukhari. (lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/553, MS)
Beribadah kepada Allah batasnya adalah ajal yang datang. Sebelum mati, seseorang harus terus beribadah. Ibadah sendiri adalah aktifitas yang menuntut kesehatan akal. Karena bagi yang sudah tidak sehat akalnya termasuk pikun sudah tidak mendapatkan beban beribadah. Itu artinya, pikun seharusnya jauh dari mereka yang menjaga ibadahnya, biidznillah.
Juga ayat berikut ini,
“Dan Katakanlah, ’Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” [QS. At-Taubah (9) : 105]
Ayat ini, menjelaskan bahwa bekerja atau beraktifitas kebaikan terus dilakukan hingga kembali kepada Allah yang Maha Mengetahui yang ghoib dan yang nyata.
Untuk itulah, Islam tidak pernah mengenal kata pensiun. Hal itu bisa kita lihat dari dalil-dalil di atas. Adapun penelitian hanya menguatkan ayat-ayat Allah yang tertulis. Untuk itulah, kita bisa jumpai orang-orang besar dalam sejarah Islam, mereka tetap beraktifitas seperti biasa hingga di penghujung usia.
Petunjuk utamanya berasal dari Rasulullah SAW. Usia beliau jelas menggambarkan hal ini. Mari kita lihat di akhir-akhir usia beliau.
Pada usia 53 tahun yang hari ini dianggap sebagai MPP (Masa Persiapan Pensiun), Rasulullah harus melakukan perjalanan menempuh padang pasir di tengah ancaman kematian. Yaitu perjalanan mulia: Hijrah ke Kota Madinah. Kepala beliau dihargai 100 ekor unta bagi siapapun yang bisa menangkapnya hidup atau mati. Perjalanan itu beliau tempuh selama kurang lebih 15 hari. Beliau meninggalkan Kota Mekah pada malam 27 Shafar 14 Kenabian dan sampai di Kota Madinah tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1 H, setelah menetap di Quba’ selama 4 hari. Sebuah aktifitas yang terlalu melelahkan dan berisiko untuk orang seusia itu.
Pada usia 55 tahun di mana dianggap telah pensiun pada hari ini, Rasulullah SAW justru mendapatkan perintah baru yang belum ada sebelumnya dan memerlukan kekuatan fisik, otak berikut tekad. Yaitu jihad (perang). Perintah jihad baru diturunkan pada tahun 2 H. Jihad jelas memerlukan kekuatan fisik yang terkadang perlu berhari-hari untuk sampai di kamp musuh, dalam keadaan cuaca apapun. Juga kekuatan otak dalam mengatur strategi perang, menganalisa kekuatan dan kelemahan serta informasi. Kekuatan tekad sangat diperlukan dalam jihad. Tekad yang hadir dari iman yang menggelora dan tidak padam hanya oleh ketakutan atau kesenangan, kekalahan atau kemenangan. Kalau dirata-rata, beliau harus keluar untuk perang setiap 4 bulan sekali. Jumlah peperangan yang diikuti langsung oleh Rasul ada 28 kali dari tahun 2H – 9H (lihat: al-Athlas al-Tarikhi li Sirah al-Rasul, Sami Abdullah al-Maghluts, h. 151, Maktabah al-‘Ubaikan, 1435H).
Fisik, otak, tekad untuk perang, sungguh tidak mudah di usia 55 tahun.
Pada usia 60 tahun -madzhab pensiun di barat dan perpanjangan 5 tahun terakhir bagi jabatan tinggi di Indonesia-, Rasulullah SAW masih harus menjalani perjalanan jauh untuk melanjutkan dakwah beliau. Di usia itu beliau masih harus menjalan 3 peperangan; Fath Makkah, Hunain dan Thaif. Tanyakan hari ini, di mana ada panglima yang masih siap memimpin di lapangan hingga usia 60 tahun. Shallallahu alaika ya Rasulallah…
Hingga pada detik-detik terakhir beliau wafat, usia masih produktif untuk kebaikan. Dari 14 hari beliau sakit kepala dan demam tinggi hingga beberapa kali pingsan, beliau masih mampu memimpin para shahabatnya shalat berjamaah selama 11 hari. Pada Hari Sabtu (beliau wafat hari senin), Rasul SAW merasakan sakitnya mereda, maka beliau pun keluar untuk shalat di masjid walaupun harus dipapah oleh dua orang. Pada hari Ahad, beliau masih melakukan kebaikan; membebaskan beberapa budak, shadaqah sebesar 7 dinar (mata uang emas) dan menghibahkan senjata-senjata beliau untuk muslimin.
Di sela-sela sakitnya itu beliau SAW masih memberikan nasehat dan perintah kepada para shahabatnya. Di antaranya beliau memberi kesempatan bagi siapapun yang mau membalas semua kesalahan beliau selama ini. Menyampaikan agar tidak sama dengan Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid. Menasehati agar berbuat baik kepada seluruh masyarakat Anshar. Memerintahkan agar tidak boleh ada dua agama di Jazirah Arab. Pada Shubuh terakhir untuk Rasulullah SAW (senin pagi), beliau masih bangun pagi dan membuka sitar rumahnya untuk menyaksikan para shahabatnya melakukan Shubuh berjamaah dan untuk melemparkan senyum manis beliau; senyum perpisahan. Dan inilah kalimat terakhir yang dibisikkan di telinga istri tercinta Aisyah radhiallahu anha,
“…bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” [QS. An-Nisa’ (4) : 69]
“Ya Allah ampunilah dan rahmatilah aku, dan pertemukan aku dengan ar-Rafiq al-a’la, allahuma ar-rafiq al-a’la.” (Lihat: ar-Rahiq al-Makhtum h. 370-374, Dar Ibn al-Khaldun)
Sungguh inilah produktifitas usia yang tak pernah mengenal pensiun. Benar-benar hingga hembusan nafas terakhir. Hingga kekuatan terakhir, saat tangan terkulai. Dan beliau SAW pun menghadap Allah yang Maha Tinggi pada Hari Senin waktu Dhuha, 12 Rabi’ul Awwal 11 H.
Bukankah kita sering berbicara tentang prestasi hidup dan produktifitas usia. Kini kita tahu, Rasulullah SAW sang teladan itu. Capaian usia maksimal dan ideal. Karena beliau tidak pernah mengenal pensiun.
About these ads
»»  BACA SELANJUTNYA...

Syi’ah; Sejarah & Perkembangannya

Syi’ah; Sejarah & Perkembangannya


Secara fisik, sulit sekali membedakan antara penganut Islam dengan Syiah, namun jika diteliti lebih jauh dan lebih mendalam lagi—terutama dari segi aqidah—perbedaan di antara Islam dan Syiah sangatlah besar. Ibaratnya, Islam dan Syiah seperti minyak dan air, hingga tak mungkin bisa disatukan.

SELAMA ini, mayoritas orang selalu menganggap Syiah bagian dari Islam. Mayoritas kaum muslimin di seluruh dunia sendiri menilai bahwa menentukan sikap terhadap Syi’ah adalah sesuatu yang sulit dan membingungkan. Ini disebabkan beberapa hal mendasar yaitu kurangnya informasi tentang Syi’ah. Syi’ah, di kalangan mayoritas kaum muslimin adalah eksistensi yang tidak jelas, tidak diketahui apa hakikatnya, bagaimana berkembang, tidak melihat bagaimana sejarahnya, dan tidak dapat diprediksi bagaimana di kemudian hari. Berangkat dari hal-hal tersebut, akhirnya orang Islam yang umum meyakini Syi’ah tak lain hanyalah salah satu mazhab Islam, seperti mazhab Syafi’i, Maliki dan sejenisnya.
Tapi sesungguhnya ada perbedaan antara Syiah dan Islam. Bisa dikatakan, Islam dengan Syiah serupa tapi tak sama. Secara fisik, sulit sekali membedakan antara penganut Islam dengan Syiah, namun jika diteliti lebih jauh dan lebih mendalam lagi—terutama dari segi aqidah—perbedaan di antara Islam dan Syiah sangatlah besar. Ibaratnya, Islam dan Syiah seperti minyak dan air, hingga tak mungkin bisa disatukan.
Asal-usul Syi’ah
Syi’ah secara etimologi bahasa berarti pengikut, sekte dan golongan seseorang. Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang berkedok dengan slogan kecintaan kepada Ali bin Abi Thalib beserta anak cucunya bahwasanya Ali bin Abi Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm). Sedang dalam istilah syara’, Syi’ah adalah suatu aliran yang timbul sejak masa pemerintahan Utsman bin Affan yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’ Al-Himyari.
Abdullah bi Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan dan menggalang massa untuk memproklamasikan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad saw seharusnya jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib karena suatu nash (teks) Nabi saw. Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bi Shaba menampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa).
Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Berhubung hal itu suatu kebohongan, maka diambil suatu tindakan oleh Ali bin Abi Thalib, yaitu mereka dibakar, lalu sebagian dari mereka melarikan diri ke Madain.
Pada periode abad pertama Hijriah, aliran Syi’ah belum menjelma menjadi aliran yang solid. Barulah pada abad kedua Hijriah, perkembangan Syiah sangat pesat bahkan mulai menjadi mainstream tersendiri. Pada waktu-waktu berikutnya, Syiah bahkan menjadi semacam keyakinan yang menjadi trend di kalangan generasi muda Islam: mengklaim menjadi tokoh pembaharu Islam, namun banyak dari pemikiran dan prinsip dasar keyakinan ini yang tidak sejalan dengan Islam itu sendiri.
Perkembangan Syiah
Bertahun-tahun lamanya gerakan Syiah hanya berputar di Iran, rumah dan kiblat utama Syiah. Namun sejak tahun 1979, persis ketika revolusi Iran meletus dan negeri ini dipimpin oleh Ayatullah Khomeini dengan cara menumbangkan rejim Syah Reza Pahlevi, Syiah merembes ke berbagai penjuru dunia. Kelompok-kelompok yang mengarah kepada gerakan Syi’ah seperti yang terjadi di Iran, marak dan muncul di mana-mana.
Perkembangan Syi’ah, yaitu gerakan yang mengatasnamakan madzhab Ahlul Bait ini memang cukup pesat, terlebih di kalangan masyarakat yang umumnya adalah awam dalam soal keagamaan, menjadi lahan empuk bagi gerakan-gerakan aliran sempalan untuk menggaet mereka menjadi sebuah komunitas, kelompok dan jama’ahnya.
Doktrin Taqiyah.
Untuk menghalangi perkembangan Syi’ah sangatlah sulit. Hal itu dikarenakan Syi’ah membuat doktrin dan ajaran yang disebut “taqiya.” Apa itu taqiyah? Taqiyah adalah konsep Syiah dimana mereka diperbolehkan memutarbalikkan fakta (berbohong) untuk menutupi kesesatannya dan mengutarakan sesuatu yang tidak diyakininya. Konsep taqiya ini diambil dari riwayat Imam Abu Ja’far Ash-Shadiq a.s., beliau berkata: “Taqiyah adalah agamaku dan agama bapak-bapakku. Seseorang tidak dianggap beragama bila tidak bertaqiyah.” (Al-Kaafi, jus II, h. 219).
Jadi sudah jelas bahwa Syi’ah mewajibkan konsep taqiyah kepada pengikutnya. Seorang Syi’ah wajib bertaqiyah di depan siapa saja, baik orang mukmin yang bukan alirannya maupun orang kafir atau ketika kalah beradu argumentasi, terancam keselamatannya serta di saat dalam kondisi minoritas. Dalam keadaan minoritas dan terpojok, para tokoh Syi’ah memerintahkan untuk meningkatkan taqiyah kepada pengikutnya agar menyatu dengan kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, berangkat Jum’at di masjidnya dan tidak menampakkan permusuhan. Inilah kecanggihan dan kemujaraban konsep taqiyah, sehingga sangat sulit untuk melacak apalagi membendung gerakan mereka.
Padahal, arti taqiyah menurut pemahaman para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah berdasar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, taqiyah tidaklah wajib hukumnya, melainkan mubah, itupun dalam kondisi ketika menghadapi kaum musyrikin demi menjaga keselamatan jiwanya dari siksaan yang akan menimpanya, atau dipaksa untuk kafir dan taqiyah ini merupakan pilihan terakhir karena tidak ada jalan lain.
Doktrin taqiyah dalam ajaran Syi’ah merupakan strategi yang sangat hebat untuk mengembangkan pahamnya, serta untuk menghadapi kalangan Ahli Sunnah, hingga sangat sukar untuk diketahui gerakan mereka dan kesesatannya.
Kesesatan-kesesatan Syiah
Di kalangan Syiah, terkenal klaim 12 Imam atau sering pula disebut “Ahlul Bait” Rasulullah Muhammad saw; penganutnya mendakwa hanya dirinya atau golongannya yang mencintai dan mengikuti Ahlul Bait. Klaim ini tentu saja ampuh dalam mengelabui kaum Ahli Sunnah, yang dalam ajaran agamanya, diperintahkan untuk mencintai dan menjungjung tinggi Ahlul Bait. Padahal para imam Ahlul Bait berlepas diri dari tuduhan dan anggapan mereka. Tokoh-tokoh Ahlul Bait (Alawiyyin) bahkan sangat gigih dalam memerangi faham Syi’ah, seperti mantan Mufti Kerajaan Johor Bahru, Sayyid Alwi bin Thahir Al-Haddad, dalam bukunya “Uqud Al-Almas.”
Adapun beberapa kesesatan Syiah yang telah nyata adalah:
1. Keyakinan bahwa Imam sesudah Rasulullah saw. Adalah Ali bin Abi Thalib, sesuai dengan sabda Nabi saw. Karena itu para Khalifah dituduh merampok kepemimpinan dari tangan Ali bin Abi Thalib r.a.
2. Keyakinan bahwa Imam mereka maksum (terjaga dari salah dan dosa).
3. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam yang telah wafat akan hidup kembali sebelum hari kiamat untuk membalas dendam kepada lawan-lawannya, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dll.
4. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam mengetahui rahasia ghaib, baik yang lalu maupun yang akan datang. Ini berarti sama dengan menuhankan Ali dan Imam.
5. Keyakinan tentang ketuhanan Ali bin Abi Thalib yang dideklarasikan oleh para pengikut Abdullah bin Saba’ dan akhirnya mereka dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib sendiri karena keyakinan tersebut.
6. Keyakinan mengutamakan Ali bin Abi Thalib atas Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Padahal Ali sendiri mengambil tindakan hukum cambuk 80 kali terhadap orang yang meyakini kebohongan tersebut.
7. Keyakinan mencaci maki para sahabat atau sebagian sahabat seperti Utsman bin Affan (lihat Dirasat fil Ahwaa’ wal Firaq wal Bida’ wa Mauqifus Salaf minhaa, Dr. Nashir bin Abd. Karim Al Aql, hal.237).
8. Pada abad kedua Hijriah perkembangan keyakinan Syi’ah semakin menjadi-jadi sebagai aliran yang mempunyai berbagai perangkat keyakinan baku dan terus berkembang sampai berdirinya dinasti Fathimiyyah di Mesir dan dinasti Sofawiyyah di Iran. Terakhir aliran tersebut terangkat kembali dengan revolusi Khomeini dan dijadikan sebagai aliran resmi negara Iran sejak 1979.
Saat ini figur-figur Syiah begitu terkenal dan banyak dikagumi oleh generasi muda Islam, karena pemikiran-pemikiran yang lebih banyak mengutamakan kajian logika dan filsafat. Namun, semua jamaah Sunnah wal Jamaah di seluruh dunia, sudah bersepakat adanya bahwa Syiah adalah salah satu gerakan sesat. [sa/islampos/berbagai sumber]
Rujukan:
1. Dr. Nashir bin Abd. Karim Al Aql, “Dirasat fil Ahwaa’ wal firaq wal Bida’ wa Mauqifus Salaf minha.”
2. Drs. KH. Dawam Anwar dkk. “Mengapa kita menolak Syi’ah.”
3. Abdullah bin Said Al Junaid, “Perbandingan antara Sunnah dan Syi’ah. ”
4. Dan lain-lain, kitab-kitab karangan orang Syi’ah.
5. Beberapa situs dan blog pribadi
»»  BACA SELANJUTNYA...

Sejarah Tafsir dan Perkembangannya

Sejarah Tafsir dan Perkembangannya


Akhir² ini beberapa "ilmuwan" merasa bahwa tafsir Al Qur'an yg ada ini sudah ketinggalan jaman ...
Menurut mereka, perlu adanya pambaharuan tafsir Al Qur'an ...
Namun perlu di perhatikan ... !

Seorang ilmuwan modern pasti memberikan rujukan dan bukti pada setiap pendapatnya ...
Seorang ulama yang shalih pasti juga ada rujukan yg menjadi dasar hukumnya ...
Rasulullah SAW dan para Nabi, pasti juga memiliki rujukan, bahkan rujukannya sangat jelas dan sangat tepat, yakni dari Allah SWT, Tuhan Semesta alam, dan inilah rujukan tertinggi tingkatannya ...
Tidak ada satupun yg berilmu, melainkan mereka pasti memiliki rujukan yg jelas ...

Seorang ilmuwan, pasti merujuk ke sesama Ilmuwan ...
Seorang ulama yg shalih, pasti merujuk juga ke ulama yg shalih atau para Sahabat atau Nabi SAW ...
Seorang Ilmuwan sudah pasti lebih mengetahui ilmu terbaru yang sesuai perkembangan jaman, namun ia belum tentu seorang yg sholeh ...

Kalau ilmuwan hanya merujuk ke sesama ilmuwan, tanpa merujuk ke ulama yg saleh, tentu hasil tafsir Al Qur'annya bisa berbahaya ... !
Bisa melenceng jauh dari kebenaran ... !
Mengapa? Ingatlah kalau sebenarnya Nabi SAW telah melihat bukti² dari Al Qur'an dng sebenarnya, nampak jelas oleh kedua mata beliau ...
Hanya karena saat itu belum ada istilah² modern, seperti DNA, galaxy, nebula, zygote, chromosome dll, maka Nabi SAW mengatakannya sesuai dng bahasa pada jaman itu, yang mudah dipahami oleh manusia jaman itu ...
Dan sesungguhnya Al Qur'an itu diturunkan dalam bahasa Arab yg fasih, dengan kedalaman makna yg tidak akan ditemui pada bahasa lainnya diseluruh dunia ini ...
Hanya orang² yg memiliki ilmu, yg mengetahui kedalaman bahasa Arab yg digunakan Allah pada Al Qur'an ...
Ilmuwan jaman sekarang jangan sombong, jangan merasa mengerti segalanya, karena ilmu modern jaman sekarang juga ada batasannya ...
Sedangkan Al Qur'an tidak ada batasannya, karena merupakan Kalam Allah, sehingga hanya Allah yang Maha Mengetahui segalanya ...

Karena itu hendaknya para ilmuwan modern yg ingin menafsirkan Al Qur'an lebih dari tafsiran yg lama, maka ilmuwan itu harus merujuk ke para ulama yang sholeh, para Sahabat dan Nabi SAW, baru kemudian merujuk ke sesama ilmuwan modern ...
Dengan kata lain, seorang ilmuwan yang sholeh, tentu akan merujuk ke ulama yang sholeh baru kemudian kesesama ilmuwan modern ...

Tulisan berikut ini dan beberapa minggu kedepan membahas mengenai tafsir Al Qur'an. Semoga bermanfaat.
=============================


Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat periode yaitu :
1.      Tafsir Pada Zaman Nabi. 
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44). Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman Allah :
وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة
kemudian Rasulullah bersabda :
ألا إن القوة الرمي
Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.
2.      Tafsir Pada Zaman Shahabat
Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya.
Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah.
Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist marfu’. Atau paling kurang adalah Mauquf.
3.      Tafsir Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:
a.       Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
b.      Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli. Dan 3)- Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya.
4.      Tafsir Pada Masa Pembukuan 
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya. Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in. Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat
غير المغضوب عليهم ولاالضالين
ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni. Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya. Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.
»»  BACA SELANJUTNYA...

ISLAM MASA KINI (Diantara Tradisi Dan Globalisasi)




MUKADIMAH
Definisi islam yangtotalistik adalah definisi modern, lahir dari sisi gelap modernitas yang telah membesarkan ideology-ideologi totalistic. Maupun pemahaman totalistic itu menyeruakan semangat, gemuruh dan spirit pergerakan, tetapi ia tidak mempunyai akar dalam sjarah islam, secara histories keseluruhan rentang tradisi intelektual, filsafat, fiqih, kalam, tasawuf, thariqat, seni dan budaya islam adalah menomenn majemuki hasil pengaruh berbagai kebudayaan, seperi : sungai besar yang dialiri oleh banyak anak sungai. Bagaimanakah kemajemukan tradisi-tradisi itu itu lalu raib sejengkal demi sejengkal mengarus menjdi seragam dan tunggal?

Karena alasan-alasan metodologis dan epistimologis yang akan menjdi jelas dalam uraian nanti, maka kita akan memulai dengan mendefinisikan konteks baru yang diciptakan oleh kekuatan-kekuatan globalisasi, dan kemudian memecahkan persoalan-persoalan teang islam masa kini dsan tradisi islam



A.    APA YANG DIMAKDUS DENGAN GLOBALISASI

Globalisasi dapat dimaknai sebagai global village. Artinya dunia yang mendesa (Mc. Luhan) kehidupan sedunia menjadi kecil seperti satu desa atau desa dunia (quryatul kurawiyah). Artinya satu desa bias menjumpa orang hamper seluruh dunia. Kenichi ohmae menyebut abad ini sebagai the bordeless world sebuah dunia tanpa batas.

Tofler menyatakan bahwa teknologi melahirkan teknosfer (lingkungan teknologi yang khas) lalu teknologi informasi sebagai bagian dari teknosfer akan mewarnai infosfer (budaya pertukarn informasi), lalu infosfer aka meengubah sosiosfer (norma-norma social), kemudian sosiosfer akan mengubah psiksfer. Pengaruh teknologi khususnya teknologi informasi terhadap globalisasi telah terbukti. Sector-sektornya masyarakat social, ekonomi, politik, dan pendidikan, hokum dll.

Pada hakikatnya , globalisasi sudah dimulai 15 abad yang lalu. Gema ahyu ilahi pada kerangka normative globalisasi. Di sini saya seut sebagai globalisasi iid satu, kerangka normative ini secara eksplisit tertulis pada firman Allah SWT (QS. Al Hujurot : 13) ayat tersebut dengan gambling menunjuk pada eksistensi bangsa-bangsa, etnis dan sebagainya.

Terminology globalisasi yang qur’nik humanistic ini dapat berjalan sendirian, namun dibarengi dengan software  yang memadai, mewujudkan seperangkat teks yang visible, dengan human ware yang sangat kredibel. Beliau adalah Nabi Muhammad SAW, beliau merupakan figure identifikasi ideal bagi kemanusian terutama era global. Visibelitas perangkat ini dapat dibuktikan, sebuah pembuktian yang transparn dan spontans, yaitu Qur’an, hadits dan kesaksian ahli sejarh.

Globalisasi jilid satu penuh dorongan ilmu, iman dan amal. Akan tetapi belum massif dan populif. Karena pendidikan sains di bidag kauniyh lamiyah masih diktegorikan fardlu kifayah akan dengan kata lan ubudiyah ‘manh dinomerdukn dari pda ubudiyah madhnah fardlu ‘ain dipilih dengan fardlu kifayh yang terkadang menghasilkan tnziq al syakhsiyah (split personality)

Jadi krakteristik globalisasi jilid satu adalah : pertama; orientasi  religius, kedu; dikuasai kaum islam dan kaum muslimin, ketiga; dominasi budaya teks, keempat; lahirnya sains dan teknologi yang elitis, kelima; lahirnya generasi split personality, keenam; terjadinya perang kibat tafsir fiktu teoritis, ketujuh; melemahny keseimbangan dalam kehidupan umat islam.

Globalisasi jilid dua ditandai pembelokan ke arah dari globalisasi jilid satu. Secara umum yang menguasai lima abad terakhir adalh orang barat. Mereka telah terbiasa memasang keykinan yang membelah hati mereka sains ya sains, agama ya agama. Tokoh yang merek anut, contohny tertulian. Dia pernah mengajukn statemen yang hingga kini tetap dianut. Sebuah statemen yang sangat terkenal : Creduque absurdum est kepercayaan semacam ini yang menjadikan orang barat sangat liberal.

Globalisasi jilid dua ini ditandai: pertama; penemuan teknologi canggih, edua; dominasi barat atas timur, ketiga; penjajahan dan pengalihan kekayaan alam, keempat; pengelompokan Negara kaya  dan miskin, kelima; etrkurasnya sumber daya alam Negara berkembang atau negara miskin, keenam; ketertinggalan pendidikan Negara selatan, ketujuh; kelahirn komunisme awal abad 20 dan runtuhnya tembok berlin dan tembok timur1991.

Cirri lain dari globalisasi jilid dua adalah berkembangnya ekonomi field ecompassing ekonomi merambah kesemua sector dan lini. Setiap gerak mempunyi nilai ekonomi. Persaingan demikin ketat sehingga masing-masing menjadi predator bagi yang lain. Strategi keunggulan menjdi kebutuhn setiap lembaga dan organisasi maupun pribdi, keunggulan kompetitif ditandangi dengan unggul mutu, unggul keemsan, unggul pelyanan, ungggul teknologi dan promosi. Harus juga digunakan strategi unggul komparatif, yang mana keunggulan ini ditandai dengan standar internasional, kuota dan lain-lain.



B.     APAKAH ISLAM MASA KINI KEBAL TERHDAP GLOBALISASI

Jika moderitas adalah proyek yang tidak lengkap yang mengandung suatu tekad untuk mendorong lebih jauh batas-batan kondisi menusia, ia harus mengarahakan globalisasi kepada pengintegrasian yang lebih baik dari niali-nilai yang dibuat bertentangan oleh pertentangan sistematik antara sisi-sisi agama-agama  tadisional dan kategorisasi-kategorisasi ideologis agama-agama sekuler. Sebagai akibat  dari konflik ini, suara-suara sekuler ini para nabi, orang-orang suci, teolog, filusuf, seniman, penyair, da pahlwan telah tak henti-hentinya dipiggirkan, didiskualifikasikan da didorong kembali ke suatu masa lalu yang turun kedudukannya menjdi histografi orang terpelajar atau menjadi keterlupaan yang pasti.

Kenyataanya, duni sellalu mengandung sisi terang dan sisi gelapnya. Pada globalisasi jilid satu, terdapat kewlayahan sains islam. Di zaman rasulullah SAW dan para sahabat, sains islam berkembang secara populis. Dengan sederhanaan sains waktu itu, rasul meganjurka thalabil ilmi sampai ke negeri cina. Rasulpun tahu  bahwa di cina waktu itu tidak ada nabi, jadi yang diharapkan rasul pasti di luar keberagamaan, paling banter, adallah falsafah. Bahkan yang  pasti adalah  kebudayaan dan sains. Karena sebagaiman dimaklumi, telah sejak lama cina mengeal kertas, demikian juga  barag logam, sutera, keramnik, beliau juga mencanangkan poembelajara seumur hidup, min al mahdi ilaa al lahdi, bahasa sekarang adalah long life educations. Jadi rasululah tidak secara langsung  membangun sains dan teknologi. Beliau membangun fondasi untuk menyiapkan masyarakat beriman yang berbasisi sains dan teknologi, kepada beliau diturunkan kitab yang tidak bertentangan dengan sains dan teknologi,dialah al-qur’an dan hadits sebagai penjabarannya. Kita tahu, lebih dari 150 ayat  al-qur’an bicara soal kosmos. Bagaimana kalau semua atau sebagian bertentangan dengan sains. Apapula jadinya kalau ayat-ayat itu menjadi sandungan penelitian ilmiah.

Berbagai ayat bahkan melarang manusia untuk mengiukuti suatu yang tidak dia ketahui (QS al isro’ (17) : 36). Setiap statemen hendaklah selalu  argumentative (QS Al-baqoroh : 111, al anbiya : 24, an naml : 64 dan al qashash : 75) tiap informasi al-qur’an harus  ada buktinya (QS al-an’m : 68). Allah akan memperlihatkan kebenaran ayat-ayat nya pada ufuq dan diri manusia sendiri (QS Fussilat : 53). Rasulullah saw memerintakn gar umatnya berfikir total tentang semua alam, haya memikirkan  dzat allah SWT yang tidak diperkenankan (HR abu Ni’am)

Jadi saat itu, umat menjdi sangat berkeseimbangan . seimbang antara iman dan nalar. Indicator keimanan merek bias dilihat ketika mereka mendenga ayat-ayat al-qur’an dibacakan, mereka bersujud tersungkur, menangis atas kebesaran al-qur’an. Akan tetapi mereka  sangat cerdas mengamati alam, diinteraksi dan menyikapi kehidpan. Berulangkali alllah perintahkan agar membuka nalar, memandang langit, bumi, sosi, uday, religi untuk menganalisis dan menyintesis.

Islam terus memberu jaminan kepada umat, yang dikeluarka dari kebesaran-kebesaran da kenyamana-kenyamanan yang dijanjikan kepda kelompok-kelompok khusus yang terbatas, sebuah harapan yang bercampur degan pengharapan tradisional akan keselamatan abadi , memungkinkan mencapai kejayaan moral dalam pertemuan yang intim dengan tuhan-Nya al-qur’an yang maha adil dan mengasih, suatu keyakinan kepada janji keadilan yang sudah dekat.

Pengaruh-pengaruh buruk dari globalisasi tidak boleh memalingkan kita dari kemajuan-kemajuan sejarah yang didirikan diatas pengalaman positif modernitas intelektual. Jika agama-agama besar dan filsafat telah lama mengajarkan bahwa manusia adalah jiwa / ruh, orang tidak boleh lupa bahwa spiritualisme, ortologisme (ajaran yang menyatakan semua kegiatan makhluk hidup, termasuk poenghimpunan ilmu oleh manusia bersumber dari kehendak dan kebijkan tuhan) transendentalisme, teologisme, esensialisme dan subtansialisme daah deviratif-deviratif atau khayalan-khayalan globalisasi masa kini, tentang hakikat manusia yang sebenarnya. Dalam menggambarkan  islam kontemporer saya akan berusah untuk menunjukkan bahwa tugas yang ditentukan oleh tradisi histories dan globalissi tergantung pada bagaimana ia berjalan secara filosofis, etis, yuridis da secara institusional melampauai semua system kepercayaan dan non-kepercayn yang diwarskan secara beragam dari masa lalu, menuju pengulasan kekuatan-kekuatn yang lebih baik yang tersedia bagi manusia untuk mengubah manusia.



C.    MEMIKIRKAN KEMBALI ISLM DALAM MENGHADAPI TRADISINYA

Solusi yang komprehensif sangat diperlukan pada situasi semacam ini, disini tidak akan dibahas panjang dengan teori yang kompleks tinjauan bersifat selintas, tetapi menyentuh aspek-aspeknya masing-masing aspek harus mendapat porsi yang memadai8.

Pertama; theologies, kita fahm bahwa manusiahidup ini dibekali dengan berbagai potesi hal itu artinya mahwa manusia harus bias mengubah diri sendiri (QS ar rad (13): 11). Kedua; takdir, percaya takdir bukanlah suatu alat pemangkas ikhtiyar manusia, takdir adalah ukuran, komposisi yang telah ditentukan oleh Allah SWT dalam segala hal.

Takdir bukan alat mengancam usaha seseorang. Biarlah nanti kalau takdir datang kepadanya Jangan tanya!!! Bukan begini.

Ketiga: ldentifikasi. Kita memiliki figur identifikasi ideal,yaitu Rasulullah saw. Rasulullah saw tidak pernah sama sekali mengandalkan kerja dengan keaiaiban. Beliau selalu menggunakan sunnatullah pada alam ini. Beliau bekerla, beliau rnernegang tampuk kepemimpinan negara dan agama. Beliau mengatur siasat perang. Beliau merancang perdamaian. Beliau mencari obat dan berd"'. ,'sb. lntinya, ilmu keajaiban itu sudah saatnya ditinggalkan. Dia akan datang sendiri pada orangya-rrg betaqwa. Bukan masanya lagi kita bertahun-tahun mencari ilmu keaiaiban.

Keempat: Pemilahan fardhu.Ada fardhu 'aion ada fardhu kifayah. llmu wudhu adalah fardhu 'ain. llmu matematika adalah fardhu kifayah. Hal itu sepintas memang betul.  Akan tetapi matematika yang menuju kecerdasan sehingga orang tidak menipu atau tertipu, adalah fardhu 'ain. Geologi, geografi, astronomi, yang menjadikan orang tidak mengalarni split personality adalah fardhu 'ain.Tentu saja tidak semua muslim harus jadi insinyur atau dokter.Akan tetaPi ilmu yang menjadikan sains dan teknologi rnenjadi populair adalah fardhu 'ain. Karena dengan sebaras itupun, nantinya sains dan teknologi tidak akan menjadi elitis" Masyarakat tidak hanya akan terkagum-kagum dengan temuan semua itu sehingga sering lupa kekuasaanAllah swt.Atau menjadi konsumen yang dikuras uantnya habis-habisan oleh para produsen.Akh!rnya mereka menjadi orang miskin yang dekat dengan kekufuran.

Kelima: Tawzin al-Manhaj (Penyeimbangan kurikulum). Kuril<ulum minimal ada;l) membacakan ayar-ayat Allah swt. Termasuk ayat kauniyah yang melahirkan  ekaguman

terhadap eksistensi Allah swt dan melahirkan sains . 2).Tazkiyyatun-nafsi. 3) 'aillumuk al-kitaaba wa al-hikmata. Mengalarkan Al-Qur'an dan Hadits ---filsafat-- 4) yu'allimukm maa lam takuunuu ta'lamuun ---riset dan hasil-haslinya (QSAI-Baqarah [2]: l5l). Prinsip keseimbangan ini sangat penting, karena dunia ini dibina atas keseimbangan (QS.Ar-R.ahman [55]:7,8,9). Selama ini ilmu-ilmu riset sering ditinggalkan. Padahal ini dinamika umat di manapaun dan kapanpun. Kecurigaan cerhadap ilmu yang terakhir itu sangat tampak pada khazanah kita. Dalam karya para sarjana lslam, ulum al-awa'il secara keras diruiuk sebagai ulurn mahjuuran. lbrahim Bin Musa (Spanyol, w. I 389) menyaukan, kebanyakan teolog menganggaP sains yang bermanfaat hanyalah sains yang langsung berkaitan dengan praktek agama. Selain itu

hanya akan menyesatkan umat. lbnuTaimiyah nrenyatakan, ilmu adalah yang diturunkan melalui Rasulullah,saw.Selain itu tak ada gunanya (Pervez Hoodboy: 1996: 177).

Keenam: Motivasi belajar. Kita tahu betapa banyaknya orang frustasi setelah lama belaiar. Karena rnotivasi ingin meniadi pegawai negeri tidak tercapai, mereka frsutasi. Di lndonesia sekarang rnencapai sebelas iuta orang penganggur. Fengangguran kebanyakan dilakukan oieh orang tak terdidik. Atau terdidik yar:g frustasi, karena rnemilih pekeriaan yang belum ada. Mestinya r-nemilih itu di antana sekian pekenjaan. Sukan memilih yang belur"n mernpunyai pe!<eriaan. Nabi saw bersabda: Man ta'allarne- lighairillaahi falyacabat*ria' rnaq'adahu min al-naari iHSR.TLrrnrudzi, disahihkan olehAl-A![:ani 5/?73 Al-.lami' Shaghir,860 i].

Ketujuh: Readng and writing society.Sebelurn segala perintah diberikan, olehAllah pertama kali diperintah membaca. Lalu diinforn'rasikan tentang Pena. Pantas, di zaman Baghdad abad pertengahan, dari I I 3.000 kk, terdapat 70-73 perpustakaan. Hal ini berkat huniarnan nilai ibadah dalam belaiar. *

Globalisasi harus dirnana untuk kemaslahatan nranr.rsia..jacquasAttali menyatakan bahwa globalisdasi akan menyengsarakan sebagian besar orang. Menyengsarakan orang yant tidak dapat mengakses pada sains dan teknologi. Menyengsarakan orang yant dd;k memiliki kecerdasan finansial.

Oleh karena itu, sains dan teknologi, khususnya teknologi pendidikan dan pembetajaran

harus merupakan prioritas kita. Bukti-bukti di atas dapatlah kiranya menyadarkan kita setagai umatan wasathan litakuunuu syuhadaa'a 'alaa al-naasi (QS.AI-Baqarah [2]: 143). Bukan sebalai Penonton permainan di dunia ini. Dunia memant permainan, tetapi jangan main-main. Sebagaimana sepak bola adalah permainan.Tetapi lauhnya peringkat dari klupnya Ronaldinho, pertandakita miskin ilmu permainan

iman menjadikan kita seperti air di daun keladi. Miskin ilmu rnenjadikan kita seperti burung beo. Miskin harta menjadikan kita tersimpuh di kaki IMF Miskin persaudaraan meniadikan kita tercerai berai. Miskin disiplin menladikan kita menghamburkan waktu. Miskin kesadaran hukum menjadikan kita ngawur.

Semoga makalah ini ada manfaatnya!!!
»»  BACA SELANJUTNYA...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...